Thursday, November 24, 2011

Saya dan Kereta Api Sialan Itu: Ketika hidup bergantung pada Rp4.000

Sore kemarin, 23 November 2011, hujan deras, gemuruh, dan kilat menemani perjalanan dari Perpustakaan Pusat UI hingga St. UI.

Uang di dompet hanya Rp4.000, itu hanya cukup untuk membeli tiket Transjakarta dari Juanda ke Harmoni. (hari itu saya sengaja naik kereta tanpa membeli tiket, karena uang saya benar-benar sekarat)

Saya duduk menikmati hujan di tepi stasiun, bersama penumpang lain, para penjaja tissue dan masker, dan manusia-manusia lain. Saya mulai menunggu kedatangan kereta ekonomi jam 6 sore.
Setelah dua jam menunggu tanpa kereta satu pun yang lewat, sebuah pengumuman menyatakan bahwa kereta sedang mengalami gangguan persinyalan.

jam berapa itu?
ya, jam 8 malam. Kalian tahu? bus-bus di Depok arah ke Jakarta selalu sudah punah setelah jam 8 ke atas. Alhasil, cara satu-satunya menuju rumah adalah hanya menggunakan jasa PT KAI.

Apa daya kalau kereta yang mengalami gangguan sinyal itu tidak dapat dipastikan kapan kembali normal?
Saya menghubungi teman sekelas saya, menanyakan ada di mana dia, Dia tenyata telah berada di dalam kereta Commuter Line ber-AC. Dia menawari pinjaman uang untuk sekadar membeli karcis kereta AC dan ongkos pulang.

Tapi saya menolak. Dengan alasan, "ah tidak ah, nanti setelah kereta AC-mu jalan, di belakang ada kereta ekonomi kok." saya jawab dengan yakin, walaupun saya tahu kereta sedang lagi dalam masalah, dan tidak jelas juntrungannya.

Kereta Commuter Line AC yang ditumpangi saya meninggalkan stasiun UI. Meninggalkan saya yang sedang duduk di tepi stasiun menanti kereta ekonomi.

Satu jam menunggu, sekitar jam 9 malam lewat. Akhirnya kereta ekonomi itu tiba di stasiun UI.
Saya mendapat tempat duduk. Sudah 20 menit saya duduk di kereta itu, namun kereta itu tidak kunjung bergerak-gerak. Diam di tempat. di stasiun UI.

Perasaan saya sudah tidak enak. Saya hubungi teman saya yang lain, yang sedang naik kereta di depan kereta saya ini. Ternyata, kereta mereka tertahan juga di stasiun berikutnya, tidak bisa jalan.

Saya mulai berpikir-pikir. Kalau saya tunggu kereta ini hingga benar, mau sampai kapan? saat itu sudah jam 10 malam. Kalaupun kereta itu jam 11 baru beres, saya sampai di stasiun Juanda pasti sekitar jam 12 atau jam 1 dini hari. Jam segitu sudah tidak ada Transjakarta yang beroperasi.
Saya harus jalan kaki dari Juanda ke Harmoni. Ah.. tidak mau!

Kalau begini terus, menunggu ketidakpastian, seperti hubungan yang digantung, hal itu membuang waktu. sia-sia belaka. Otak saya berputar mencari akal. YA, saya hubungi kekasih lesbian saya, Martha. Kebetulan, saya pernah berpesan, "nanti aku boleh ya nginep di kosan mu?"
wah kebetulan sekali, momen ini tepat untuk bermalam di kamar Martha.
Setelah meminta izin mama, saya segera melesat ke kosan Martha.
Malam itu saya tidak makan malam, karena uang saya hanya Rp4.000, sebenarnya bisa saja saya meminjam uang Martha, tetapi perut saya masih kenyang setelah makan siang gratisan yang disajikan oleh Dekanat hari itu. Beruntungnya saya. Rp4.000 di dompet masih aman belum dipakai.

Di kosan Martha kami mulai berdiskusi banyak hal. Lalu, tak berapa lama, setelah mandi kilat dan cuci muka, dan tanpa sikat gigi, kami langsung pergi tidur.

Tidur yang begitu nyenyak tiba-tiba tanpa sadar matahari sudah mulai meninggi, Martha ada kelas jam 8 pagi, saya pun harus ikut siap-siap ke kampus lagi, padahal saya masih ingin berbaring lebih lama karena kelas saya dimulai pukul 10 pagi. Baru kali ini saya ke kampus dengan dandanan super duper kucel, rambut lepek, kusut masai, baju dan celana tidak ganti, badan serasa lengket, jerawat tumbuh gara-gara semalam cuci mukanya kurang bersih. Sempurna untuk mencitrakan kegembelan saya.

Di tengah perjalanan menuju kampus, Martha berhenti di tempat nasi uduk langganan saya. Rp4.000 masih di dompet. Saya tergiur untuk membeli sarapan. Tetapi saya tahan napsu konsumtif saya, dengan harapan saya bisa bertahan dengan sebatang coklat yang dari kemarin saya bawa-bawa di tas ransel. "Pokoknya, uang Rp4.000 itu harus buat bekal pulang saya hari ini"

Sesampai di kampus, saya mendapat kabar kalau kereta masih dalam gangguan persinyalan.
Saya mengucap syukur, karena kalau semalam saya menerima tawaran pinjaman uang dari teman saya, saya pasti naik kereta AC dan sampai di rumah jam 1 malam, dan pagi-paginya lagi saya harus berangkat ke kampus dengan kereta yang gangguan persinyalan itu. aahh untung saya nginap semalam. Untung pula saya bertahan dengan uang Rp4.000 itu.

Di kelas rejeki datang, dosen saya yang telat itu menyogok kami dengan kripik tempe dan bolu kukus. Wah lumayan lah buat mengganjal perut saya.Hemat, tidak perlu membeli ganjalan makanan.
dan setelah kelas hari ini, yang cuma satu, saya langsung ngacir ke stasiun UI untuk pulang ke Jakarta. Masih dengan Rp4.000 di dompet. Saya sengaja tidak membeli tiket kereta. siang itu, sekitar jam 1 siang, kereta nampaknya sudah mulai berjalan normal. Saya naik kereta ekonomi arah Tn. Abang (karena hanya itu yang tercepat), kemudian turun di stasiun Sudirman, dan naik Transjakarta menuju Harmoni.

Saya sampai di rumah dengan membawa sekeping koin Rp500. Inilah kisah saya dengan mempertahankan uang Rp4.000 tersebut.

Kepada PT KAI,
terima kasih, Anda telah sukses membuat saya menunggu hampir 4 jam di stasiun UI, di tengah hujan yang deras. Terima kasih telah membuat banyak orang menggerutu akan pelayanan yang Anda berikan. Terima kasih telah membuat perut-perut pegawai yang pulang kerja semakin meronta-ronta hendak diberi asupan, terpaksa mereka harus jajan di stasiun--padahal mereka seharusnya bisa menghemat dengan makan malam bersama keluarga mereka. Terima kasih telah membatalkan janji-janji ratusan orang malam itu, Anda tidak tahu kan pelayanan Anda telah mengecewakan orang-orang di sekitar penumpang Anda juga secara tidak langsung.
Terima kasih Anda telah memperlama rasa rindu bocah-bocah yang menanti orangtuanya kembali pulang bekerja, mungkin beberapa dari mereka ingin bertanya untuk mengerjakan PR mereka, tetapi karena gangguan sinyal itu, bocah-bocah itu terpaksa frustasi mengerjakan PR mereka. Sadarkah Anda telah membuat pendidikan kita menjadi terhambat (secara tidak langsung)?
dan terima kasih pula, telah membuat karakter-karakter penumpang untuk menjadi orang yang lebih sabar. Kami telah mengorbankan waktu kami dengan sia-sia. Sampai kapankah pelayanan Anda akan terus menerus seperti ini?


terus terang, saya K-E-C-E-W-A.


No comments: