Tuesday, November 9, 2010

Di persimpangan jalan mrita dan amrita

Lembar Tugas Mandiri Mata Kuliah Penulisan Populer

Alfi Yusrina

Tugas PenPop: unsur budaya lokal

Seluruh penghuni griya[i] sudah sangat sibuk pagi itu. Jarum jam di dinding menunjukkan angka delapan. Petoyan, sebuah upacara besar, akan di gelar di Griya Kedangsan. Panggung tinggi telah dipasang di muka kuri gede[ii]. Penjor-penjor berjajar. Para wong jero[iii] sibuk merangkai bunga, kue, dan janur, dan terciptalah simbol-simbol khusus untuk mengucap puji dan syukur atas anugerah-Nya kepada kehidupan. Di luar griya, pancalang-pancalang[iv] terlihat tertib berbaris.

Upacara ngaben[v] itu dipuput[vi] oleh empat pandita[vii]. Keempat pandita itu adalah Ida Pandita Mpu Nabe Reka Darmika Sandiyasa dari Griya Kertasari, Kayu Mas, Denpasar; Ida Pandita Dharmika Sandi Kertayasa dari Griya Anomsari, Pesanggaran, Banyuwangi; Ida Pandita Mpu Rastra Guna Wibawa dari Griya Amertha Kusuma, Kaliakah, Negara dan Ida Sri Bhagawan Dharmika Tanaya dari Griya Jimbar Giri Sari, Brambang, Negara. Sebelum memimpin upacara ini, keempat pandita itu telah melakukan nyiramin layon[viii].

Sekar selalu terpukau sekaligus ngeri melihat ‘bade dan lembu’[ix] yang berdiri megah di halaman utama griya. Sesuai adat, ‘bade dan lembu’ yang berisi jenazah itu akan diusung dan diarak menuju setra[x], kemudian dibakar. Nantinya, setelah ‘bade dan lembu’ menjadi abu, kumpulan abu itu akan dilarung menuju pintu nirwana, yang oleh masyarakat Hindu diasosiasikan dengan laut.

Tak jauh dari tempat pembakaran ‘bade dan lembu’, nampak Sekar berdiri sendirian sambil menelungkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya yang tampak lelah. Matanya perih. Sekar memejamkan mata. Ia diam-diam menghitung sudah berapa banyak upacara seperti ini yang pernah ia hadiri. Alasan lain lagi adalah Sekar menghindari titik-titik air mata yang akan jatuh di kedua pipinya.

Kepulan asap hitam membumbung tinggi. Ada kesan gaib yang menggiring kepulan asap itu menuju langit biru nan cerah. Seperti ada suatu rahasia yang membawa kepulan asap hitam itu menuju suatu tempat tersembunyi. Nirwana, mungkin.

Sekar sering bergidik bila menghirup aroma dupa, bunga, dan beraneka tumbuhan yang disusun menjadi sesaji. Juga, bau mayat yang tengah leleh oleh apipengabenan. Ada sesuatu yang tak terlihat membuat bulu kuduknya meremang. Sekalipun, mayat yang terbujur di sana adalah satu-satunya wanita yang disayangi Sekar di griya ini, Tuniang[xi] Komang.

Wanita yang pemakamannya dilakukan secara besar-besaran ini adalah salah satu tokoh sastra yang berpengaruh di Bali. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk berkarya dan mengajar sastra. Tulisan-tulisan wanita itu sudah sering mewarnai khazanah sastra Indonesia. Kecintaan wanita itu terhadap sastra memutuskan dirinya untuk tidak menikah, begitulah anggapan orang-orang selama ini. Hanya satu orang yang mengetahui rahasia besar wanita itu. Hanya Sekar.

Hati Sekar seakan teriris-iris setiap kali mengingat kenyataan bahwa guru spiritualnya sudah seda[xii]. Hyang Jagat, kuatkanlah tiang[xiii] supaya tidak menangis. Tidak boleh, perintah Sekar untuk kedua matanya. Ada suatu kepercayaan di Bali, jika ada orang yang menangis di saat upacara ngaben, niscaya roh yang dilepaskan tidak dapat kembali ke nirwana. Roh itu akan bergentayangan dan tidak tenang di bumi.

Tugeg[xiv]...” Sekar merasakan ada seseorang yang menarik-narik ujung kebayanya. Gadis kecil itu menatap Sekar dengan wajah yang polos.

“Oh, Luh[xv] Wayan, tiang becik-becik kemanten[xvi]. Luh, jangan khawatirkantiang. Sekarang, Luh, tolong sampaikan kepada Ratu Aji[xvii] bahwa tiang tidak ikut melarung. Tiang mau istirahat saja di kamar, tiang sudah lelah,” kata Sekar sambil mengusap-usap kepala Luh Wayan, salah satu anak dari wang jero. Bocah berumur lima tahun itu pun mengangguk patuh dan kemudian berlari menuju ayah Sekar.

Sekar masih termangu melihat kobaran api. Di dalam kobaran api itu ada jenazahTuniang Komang yang dibalut kain kasa kuning, tanda bahwa orang yang meninggal belum pernah menikah. Kuning juga melambangkan bahwa jenazah itu masih perawan. Sekar menyimpan suatu rahasia. Rahasia atas pertanyaan mengapa Tuniang Komang memilih untuk tidak menikah.

Dulu, saat Tuniang Komang berusia 24 tahun, ia pernah jatuh cinta kepadatukakiang[xviii] Sekar, yaitu Tukakiang Gede. Tukakiang Gede adalah dosen pembimbing Tuniang Komang saat ia kuliah S2. Kedekatan keduanya saat penggarapan tesis Tuniang Komang menyebabkan Tuniang Komang menjadi jatuh cinta. Sayangnya, waktu itu Tukakiang Gede sudah menikah dengan tuniang meme[xix]. Tuniang Komang tidak pernah mencoba menarik perhatian TukakiangGede, karena ia tahu hal itu adalah perbuatan yang salah. Saat itu, hal yang selalu membuat jantung Tuniang Komang berdegup-degup kencang adalah menerima pujian-pujian dari Tukakiang Gede atas hasil karya-karya sastra yang ia tulis, entah itu puisi, cerpen, atau novel. Pujian-pujian itu memotivasi TuniangKomang hingga akhirnya menjadi sastrawan terkenal. Sampai detik ini, TukakiangGede tidak pernah sadar bahwa selama ini adik iparnya pernah menyukainya secara mendalam.

Pertama kali mendengar rahasia terbesar dalam hidup Tuniang Komang ini, Sekar langsung berpikir bahwa Tuniang Komang adalah wanita yang sangat bodoh. Buat apa menunggu pria yang jelas-jelas tidak dapat ia miliki? Buat apa menyukai pria yang mendatangkan karma apabila Tuniang Komang gigih untuk mendapatkan cinta pria itu? Tuniang, tuniang, masih banyak pria di luar sana yang mengantri untuk menikahimu. Tidakkah kau sadar itu, Tuniang? Tidakkah kau merasa hidupmu sia-sia selama 40 tahun belakangan ini hanya karena memendam cinta yang bertepuk sebelah tangan?

Tidak perlu Sekar mengucapkan pikirannya secara langsung, Tuniang Komang sudah dapat membacanya sendiri. Lalu, tak lama ia berujar kepada Sekar, “Di dalam hidup ini, kita dianjurkan untuk menempuh jalan amrita[xx], jalan yang menuju ke kehidupan yang kekal. Kebahagiaan sejati hanya berada pada kehidupan yang kekal. Kesenangan dalam hiasan apa pun yang berada di lingkungan jalan tanpa sentuhan spiritual, kesenangan itu pastilah kesenangan yang hanya mengikat kita pada kehidupan khayal. Memang, ketika mengkhayalkan sesuatu untuk sementara kita sempat dibawa melayang-layang pada kenyataan—yang rasanya seolah-olah kita alami. Pada saat itu pasti kita akan tertawa, tapi ingat sebentar pula tawa itu akan disusul oleh tangisan yang lebih lama. Hal ini apa yang suka disebut sukhasyanantaram dukham.

Kita perlu memiliki kesadaran spiritual untuk membedakan jalan mrita[xxi] dengan jalan amrita. Spiritual itu berbeda dengan kehidupan keagamaan. Spiritual adalah tujuan dari segala praktek agama yang kita terapkan. Agama tidak mengajarkan kita untuk tetap berada dalam kesadaran religius. Sejati kita adalah spiritual maka objek kita juga adalah spiritual. Inilah yang dinamakan tingkat adhyatmika siddhi[xxii]. Setiap tiang punya masalah, tiang selalu berdoa, Om..., tamaso ma jyotir gamaya[xxiii]. Sekar mengerti sekarang? Mengapa tiang memilih untuk melawan perasaan tiang.”

Sekar mengangguk dan menunduk malu atas pikirannya semula yang sangat dangkal. Cinta memerlukan rasio. Sekar meresapi setiap petuah Tuniang Komang. Ia harus dapat membedakan antara cinta dan nafsu. Saat petuah itu diberikan, Sekar tidak menyangka perkara membedakan cinta dan nafsu itu adalah hal yang sulit. Karena, ia belum mengalami secara langsung. Akan tetapi, baru-baru ini Sekar mulai menyadari posisinya. Ia menyadari sekarang dirinya berada di persimpangan jalan amrita dan mrita.

Tidak jarang Tuniang Komang memberikan petuah-petuah kepada Sekar. Terpahat dengan jelas kata demi kata ajaran Tuniang Komang di benak Sekar. Ia mengingat kembali kenangan-kenangan bersama Tuniang Komang, wanita tertegar yang pernah Sekar kenal. Memori bersama Tuniang Komang mendadak buyar saat seseorang menyentuh bahu Sekar.

Bli[xxiv]...” Sekar tersentak kaget. Hanya ucapan itu yang keluar dari bibir Sekar

“Dayu[xxv] Sekar, tiang jagi mapamit mangkin[xxvi],” ujar pria itu sopan.

Sebelum meninggalkan Sekar, pria itu sempat meninggalkan tatapan yang lebih dari sekedar salam pamit dalam sepersekian detik. Makna tatapan pria itu melebihi pesan yang hendak disampaikan. Sekar tak berdaya, hanya mengangguk, lalu mengawasi kepergian pria itu hingga punggung pria itu tak nampak dari pandangnya. Pria itu pergi meninggalkan sepotong pilu di hari Sekar. Saat ini, Sekar hanya membutuhkan bahu pria itu untuk bersandar. Sekar tidak cukup kuat untuk melepas kepergian Tuniang Komang sendirian.

Sebenarnya, Sekar sudah muak dengan segala aturan adat yang mengekangnya. Pria yang baru saja lewat di depan hidung Sekar adalah Chahya Dhegana. Satu-satunya pria yang dicintai Sekar. Pria itu adalah cinta pertama Sekar. Mereka sudah menjalin hubungan selama delapan bulan. Aturan adat yang dinilai Sekar tidak masuk akallah yang menjadi hambatan hubungan mereka. Mereka terpaksa menjalin hubungan secara bersembunyi-sembunyi.

Seharusnya, hubungan mereka tidak perlu serumit seperti ini. Seharusnya, Chahya Dhegana bisa mempunyai gelar Ida Bagus pada depan namanya, kalau saja orang tuanya tidak menikah sebelum janin Chahya berusia empat bulan. Ya, Chahya adalah anak astra, hasil dari hubungan di luar pernikahan. Ayah Chahya adalah seorang Ida Bagus, ibu Chahya adalah seorang Ida Ayu, namun menurut adat Chahya tidak berhak menyandang gelar Ida Bagus, sekalipun tetesan darah Chahya adalah murni dari keturunan bangsawan Brahmana. Seluruh adik Chahya mempunyai gelar. Lalu, di mana letak keadilan? Haruskah anak yang selalu menjadi korban dari perbuatan orang tuanya? Sekar ingin sekali menyuarakan pemikirannya. Sayang, adat di Bali masih terlalu kuat, satu suara tidak dapat mengubah apapun.

Status Chahya yang tanpa gelar itu membuat Sekar dan Chahya di mata adat tidak sederajat. Sekar adalah seorang Ida Ayu. Seorang Ida Ayu tidak dapat sembarangan menikah dengan pria yang bukan dari kastanya. Sekar selalu kesal jika mengingat aturan adat yang menyatakan seorang Ida Bagus dapat menikahi wanita dari kasta apapun. Di manakah letak kesetaraan gender dalam adat ini?

Sistem kasta adalah kebodohan masyarakat zaman dulu. Haruskah Sekar menggugat Sang Hyang Jagat? Sekar sudah siap untuk nyerot[xxvii] dan diusir dari griya. Ia sudah tidak tahan harus menutup-nutupi hubungannya, terutama di depan keluarga besarnya. Atau, haruskah cinta dikalahkan oleh adat istiadat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan?

Tuniang, Tuniang Komang, andai tuniang masih ada. Sekar bingung apakah keputusan nyerot sudah menjadi keputusan yang tepat? Haruskah Sekar memperjuangkan cinta ini? Apakah ini cinta atau hanya ilusi? Hyang Jagat, berikanlah Sekar petunjuk menuju jalan amrita.

Tuniang Komang boleh menunggu cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga akhir hayat. Karena Tuniang percaya di kehidupan berikutnya, bilah Sang Hyang Widhi mengizinkan, ada kesempatan cinta tuniang tersampaikan kepadaTukakiang Gede.

Mendobrak adat adalah misi Sekar saat ini. Di sisi lain, ia juga memikirkan petuahTuniang Komang mengenai jalan amrita. Sampai detik ini, Sekar masih bingung, apakah hubungannya dengan Chahya sudah berada di jalan amrita, atau jangan-jangan hanya tipuan dari jalan mrita.

Biarlah ini menjadi kisah cinta yang belum usai, sama halnya perasaan cinta Tuniang Komang yang belum berbalas. Kelak di kehidupan selanjutnya, sistem kasta sudah dibumihanguskan.

Sekar mendesah panjang, lalu mengucapkan, “Om..., tamaso ma jyotir gamaya.”

[i] Nama rumah tinggal bangsawan khususnya kasta Brahmana

[ii] Gerbang masuk griya

[iii] Pembantu perempuan

[iv] Semacam polisi di Bali

[v] Upacara kematian adat Bali, kremasi.

[vi] dipimpin

[vii] Sebutan untuk pedanda dalam bahasa Bali

[viii] Memandikan jenazah.

[ix] Bade (menara) dan lembu (patung mirip lembu yang menjadi tempat jenazah)

[x] Kuburan dalam bahasa bali

[xi] Panggilan nenek untuk bangsawan Brahmana.

[xii] meninggal

[xiii] saya

[xiv] Tugeg, singkatan dari Ratu-Jegeg, panggilan kehormatan untuk perempuan bangsawan.

[xv] Panggilan untuk anak perempuan kebanyakan.

[xvi] Saya baik-baik saja.

[xvii] ayah

[xviii] Panggilan kakek untuk bangsawan Brahmana

[xix] Tuniang, panggilan nenek untuk bangsawan Brahmana, Meme, ibu.

[xx] kebenaran

[xxi] kematian

[xxii] Tingkat di mana kita sepenuhnya dilindungi oleh kedasaran.

[xxiii] Ya Tuhan..., jauhkanlah kami dari kegelapan dan tuntunlah kami menuju jalan terang.

[xxiv] Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua

[xxv] Singkatan dari Ida Ayu

[xxvi] Saya mohon pamit sekarang.

[xxvii] Perempuan bangsawan turun kasta untuk menikah

No comments: