Sunday, March 5, 2017

Sepotong tart lemon di antara rintik hujan

"Hei, apa kabar? Besok aku akan ke kotamu. Mau bertemu?" tanyaku melalui pesan singkat.
"Ya, mungkin kita bisa ke Mbak Tukang Kue," balasmu.
"Mbak Tukang Kue? Apa itu? Aku belum pernah dengar," sahutku. Kamu segera mengirimkan alamat situs sebuah kedai kopi hipster. Wah, tempatnya boleh juga! Tart-tart yang disediakan bebas gluten, terbuat dari bahan-bahan organik dan fairtrade. Pilihan yang tepat!

Langit di atas stasiun kereta siang itu nampak sendu. Suhu siang itu cocok untuk memelukmu, sayangnya kamu belum nampak. Jalur tram nampak masih basah dari jejak hujan. Aku kembali masuk ke dalam stasiun untuk menunggumu. Tak lama, senyumku terbit seiring dengan kemunculanmu di depan stasiun.

Ini adalah pertemuan pertama. Kau, bermata biru terang. Kau, berambut seperti biksu. Kau, terseyum padaku. Kecupanmu yang mendarat di pipiku menandakan  kencan pertama kami akan segera dimulai...

Kami bersepeda menuju kedai kopi yang belum lama ini dibuka. Aku bersepeda persis di belakangmu. Aku tersadar jika kamu butuh celana jins baru. Ujung jinsmu terkoyak-koyak, aku yakin itu bukan mode. Aku pasrah mengikutimu dengan sepedaku karena aku tak tahu banyak tentang kotamu.

Kedai Mbak Tukang Kue terletak tak jauh dari stasiun kereta. Konsep interiornya seperti kedai-kedai hipster pada umumnya. Kedainya kecil namun aku merasa nyaman untuk berlama-lama di sana, senyaman aku menatap dua bola mata birumu yang terus menatapku. Kami memesan dua jenis tart, punyaku tart lemon, dan punyamu tart rasberi.

Kami diberi semangkuk popcorn karamel gratis. Sambil menikmati tart dan teh, kami mendiskusikan banyak hal. Kami saling mengenal satu sama lain. Mulanya kami merasa sedikit kikuk, karena tidak tahu harus memulai pembicaraan apa. Waktu memberikan kami ruang untuk menemukan tempo dalam obrolan kami.

Semakin lama, Kedai Mbak Tukang Kue semakin dipenuhi pengunjung. Kami tergusur keluar, karena pesanan kami sudah tandas. Kamu membawaku ke pelabuhan sore itu. Kamu menceritakan sejarah pelabuhan itu. Kami bersepeda menyisiri sungai. Kamu membawaku ke tempat-tempat tersembunyi yang memiliki grafiti mengagumkan. Kami melewati gedung tempatmu berlatih yoga. Kami melewati pemukiman miskin yang memiliki banyak pergerakan radikal. Aku menikmati tur sepeda bersamamu.

Sungai yang kami susuri membawa kami ke apartemenmu. Kamu mengundangku untuk segelas air mineral. Ruang tamumu penuh buku-buku. Kami membicarakan buku-buku tersebut. Selera bukumu beragam, mulai dari catatan seorang jurnalis tentang perjalanannya ke Mekah, komik Jepang yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis, komik-komik tentang sindiran terhadap Alkitab, hingga novel-novel Timur Tengah.

Di dinding ruang kerjamu, ada koleksi foto orang-orang terdekatmu. Aku mulai penasaran dengan kisah cintamu, namun aku tak bertanya soal itu. Mungkin nanti. Di ruang tamu, kamu bertanya jenis musik apa yang aku suka. Aku suka apa saja, jawabku. Lalu kami menikmati akustikan dari Spotify. Aku menemukan gitar di ujung ruangan. Ternyata gitar tersebut bukan milikmu, namun kamu memainkan beberapa melodi untukku. Aku tersentuh.

Kamu mengajakku bermain kartu. Aku sebenarnya sudah lelah dari bersepeda. Maaf, aku menolakmu halus. Kami berakhir dengan menikmati serial American Dad! Beberapa kali aku terkejut dengan bahak tawamu yang menggelegar. Sepikah yang kau rasa? Kalau saja kamu membuka sedikit ruang, aku mampu mendengarkan keluh-kesahmu. Aku rasa kamu tipe pria yang senang memendam rasa.

Seperti Cinderella yang harus kembali ke upik labunya, aku pun demikian. Aku harus kembali ke kotaku. Sebelum semuanya terlambat. Kamu mengantarku kembali ke stasiunn di mana kencan kami bermula.

Terima kasih, kau yang bermata biru, kau yang berambut biksu, kau yang alergi susu, kau yang lucu, sampai jumpa di suatu waktu.

No comments: