Wednesday, November 17, 2010

Ulasan drama “Limbuk Njaluk Married”--Segenap Asa untuk Asep Sambodja

Pada tanggal 14 November 2010 yang lalu, Teater Bejana mementaskan drama “Limbuk Njaluk Married” karya Asep Sambodja di Gedung Kesenian Jakarta. Tema pementasan ini adalah menyangkut masalah kesetaraan gender, khususnya dalam hal perkawinan.

Poligami memang sudah bukan barang langka lagi di negeri kita. Hal ini berakibat para istri dirugikan karena para suami mereka sudah tidak dapat membagi cinta secara adil. Inilah adegan pembukaan pementasan yang disutradarai oleh Daniel H. Jacob (salah satu dosen drama saya, )

Sumbadra yang dilakonkan oleh Lilis Ireng mengungkapkan kekecewaannya perihal suaminya, Arjuna, yang hendak menikah lagi dengan Srikandi. Mengobati kekecewaan Sumbadra, kemudian Arjuna sesumbar akan mencintai para istrinya dengan adil. Sayangnya, janji hanyalah janji, perkataan Arjuna tidak pernah terbukti, menghilang secepat angin, tanpa jejak.

Di lain pihak, perkumpulan istri-istri merencanakan mogok seks. Mereka merancang undang-undang pernikahan yang mengatur agar pria hanya diizinkan untuk menikahi seorang wanita saja.

Ada Limbuk, anak Cangik—pembantu Sumbadra, yang ingin menikah dengan pria misterius yang mengirimi puisi. Banyak pria yang mengantri untuk melamar Limbuk. Sayangnya, Limbuk tidak ingin dipoligami. Ia bahkan mengusulkan undang-undang pernikahan yang mengatur bahwa wanita dapat menikahi lebih dari satu pria.

Aksi mogok seks itu menyebabkan para suami menderita. Mereka lesu, tak bersemangat, dan frustasi. Mereka berembuk untuk melawan undang-undang yang dirasa merugikan kaum pria. Perkelahian para suami dan istri ini dikemas dalam suatu koreografi.

Akhirnya, mereka berdamai melalui nyanyian penutup. Perdamaian ini terlihat sangat mudah, walaupun dalam kenyataan kita tahu masalah kesetaraan gender dalam pernikahan tidak semudah itu diwujudkan.

Judul pementasan ini penggabungan dari bahasa Jawa dan Inggris. Sebuah tanda bahwa pementasan ini adalah bentuk penyimpangan dari pakem-pakem wayang orang yang tradisional. Walaupun lakon-lakon yang dipentaskan menggunakan nama-nama pewayangan, seperti Arjuna, Sumbadra, Limbuk, dan Srikandi, keseluruhan jalan cerita melenceng jauh dari pakem-pakem yang biasa kita temukan dalam pertunjukan wayang. Contoh, tokoh Limbuk, yang dalam pewayangan ia selalu digambarkan sebagai seorang wanita yang ditolak pria-pria, dalam teater ini justru Limbuk yang menolak pria-pria. Kalau kita mengharapkan pementasan ini dimainkan oleh orang-orang yang berkostum seperti ketoprak, tentu pada menit pertama teater dimulai Anda akan merasa kecewa. Dalam pementasan ini kita dapat menemukan kemodernan, baik dari segi dialog yang menggunakan bahasa Indonesia, kostum yang sudah disesuaikan dengan zaman, dan penataan panggung yang sangat sederhana.

Dikaitkan dengan topik pembahasan di kelas, mengenai teater tradisional dan teater modern. Jelas, pementasan ini tergolong teater modern. Tentu kemodernan ini tidak terlepas dari unsur-unsur ketradisionalan yang ada pada teater-teater tradisional. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, masih ada unsur-unsur tradisional dapat kita temukan di sini, contohnya nama-nama lakon.

Lakon “Limbuk Njaluk Married” ini adalah sebuah drama komedi. Banyak banyolan-banyolan yang sangat menghibur. Trik-trik yang digunakan ada bermacam-macam. Saya paling sering melihat trik yang digunakan adalah slapstick. Sebuah contoh, saat Iqbal G. Ingin duduk, dia mencari kakinya, padahal semua penonton tahu kakinya dia lipat ke belakang. Mungkin banyolan ini terdengar jayus, tapi semua penonton tetap tertawa dibuatnya.

Di luar dari masalah poligami dan ketidaksetaraan gender. Saya menangkap ada beberapa sindiran-sindiran yang menghibur. Sindiran-sindiran itu tidak jauh dari kehidupan dunia selebriti di Indonesia. Tidak perlu disebutkan namanya, penonton dapat menebaknya sendiri. Contoh, saat ada beberapa pria yang ingin melamar Limbuk. Ada yang berkostum dan berlagak seperti Rhoma Irama, ada pula yang berkostum dan berlagak seperti Ustadz Zainudin MZ.

Secara keseluruhan, cakapan-cakapan yang sangat menghibur ini tidak mengurangi pesan yang hendak disampaikan oleh sang sutradara. Penonton tidak hanya disuguhi sindiran-sindiran yang mengajak untuk tertawa geli karena tingkah konyol para pemain, tetapi juga penonton diajak untuk memikirkan kembali masalah yang sedang banyak dilanda dalam keluarga-keluarga di Indonesia.

Di luar unsur-unsur internal pementasan. Latar belakang diadakan pementasan ini adalah sepenuhnya untuk amal. Seluruh hasil penjualan tiket pementasan ini digunakan untuk kesembuhan sastrawan, dosen FIB UI, yaitu Asep Sambodja, yang saat ini sedang terbaring sakit kanker usus di RS Panti Rapih, Yogyakarta.

Semoga, apa yang telah dilakukan panitia dan penonton pementasan ini dapat membantu kesembuhan Asep Sambodja. Amin.