Thursday, July 12, 2012

Rahasia Bedak Penari Topeng Dieng dan Semangkuk Cinta Mie Ongklok (Dieng Trip Part 2)


Perjalanan dilanjutkan menuju ke kompleks candi-candi. Ada Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Arjuna, dll. Mulanya saya pikir akan menemui candi-candi besar seperti Borobudur, sayangnya yang saya lihat hanya candi dengan ukuran agak kecil. Karena kami datang di hari pertama Dieng Cultural Festival 2012, wajar plataran parkir area candi dipenuhi bus dan mobil. Sepertinya ada banyak sekolah yang sedang melakukan study tour ke tempat ini. Karena di mana-mana yang saya lihat adalah remaja-remaja rewel yang menggunakan seragam olahraga. 

Pemandangan di kompleks candi ini bagus, udaranya juga sangat segar untuk dihirup. Saya sampai sana sekitar jam 10 pagi sehingga matahari belum terlalu terik. Kami duduk-duduk manis sambil beristirahat sejenak di depan Candi Arjuna. Di tengah menikmati pemandangan alam nan hijau itu, si Max tiba-tiba diserbu sekawanan remaja labil. Pasti kalian dapat menebak apa yang terjadi! Seperti yang sudah saya katakan, secara fisik Max itu tergolong cowok bule ganteng, dengan perawakan yang ideal, wajar dong kalo ABG-ABG ini berbondong-bondong untuk minta foto bareng? 

Semakin lama, semakin banyak yang datang minta foto. Akhirnya saya berseloroh, “Max!” Kemudian Max menoleh dan tersenyum, “Good call!” dan kami segera meninggalkan pelataran Candi Arjuna yang sesak dengan ABG labil itu J

Sebelum meneruskan perjalanan kami jajan jagung bakar dulu. Lumayan buat mengganjal perut yang belum diisi dari tadi subuh. Setelah pendakian, terasa perut mulai meronta-ronta untuk diberi makan. Tidak jauh dari kompleks candi, ada situs pariwisata yang kerap dikunjungi, yaitu Telaga Warna.

mie ongklok + sate ayam
Setiba di sana. Kami mulai berunding lagi. Kalau kami masuk hari ini, besok kita pasti akan masuk lagi ke sana, karena kami besok akan melihat pelarungan rambut di telaga itu. Untuk menghindari masuk ke situs itu sebanyak dua kali, kami akhirnya memutuskan masuk ke telaga besok saja. Di seberang situs ada berbagai pedagang makanan. Kami mampir ke salah satu warung yang menjual mie ongklok. Rasanya lumayan untuk perut yang lapar dan untuk harga Rp5.000/mangkok.

Masih ada dua situs lain yang kami kunjungi hari itu, yaitu Kawah Sileri dan Telaga Merdada. Untuk masuk ke situs itu pengunjung dikenakan biaya retribusi. Berkat kepiawaian supir angkot dalam berdiplomasi, kami akhirnya mendapat harga Rp15.000 untuk 8 orang! Murah kan?
all of us, behind the Sileri cauldron 



Sebenarnya tidak banyak yang dapat diceritakan mengenai Kawah Sileri. Sewaktu kami mau ke sana, di tengah jalan kami terpaksa berhenti karena ada perbaikan jalan. Akhirnya kami hanya dapat melihat Kawah Sileri dari kejauhan. Dibandingkan Kawah Sikidang, kawah ini jauh lebih kecil.
Tidak banyak wisatawan mengunjungi Telaga Merdada. Terbukti waktu kami ke sana, suasananya sungguh sepi. Telaga ini tidak seperti danau-danau yang sering saya temukan, yang biasanya menyisakan lahan untuk pengunjung berduduk-duduk. Telaga Merdada ditemboki oleh pegunungan dan dipadati oleh lahan sawah. Jadi kebayang dong para wisatawan mau duduk di mana? Sehingga kalau pengunjung berharap akan menikmati pemandangan dari pinggir telaga, hal itu salah besar. Selain bau pupuk CM yang menyengat, telaga ini tidak ada ruang untuk pengunjungnya duduk di pinggirnya. Jangan sedih dulu, kalau kalian mau duduk sambil menikmati keindahan telaga ini, kalian bisa duduk di viewing point yang terletak tidak beberapa jauh dari telaga.

Di telaga ini kami sudah mati gaya. Pasalnya, saat itu baru jam 12-an, dan kami sudah mengunjungi hampir semua situs di pegunungan Dieng. Mau apalagi coba? Setelah berunding lagi, kami sepakat untuk balik ke Wonosobo. Saat perjalanan balik, kami melalui kompleks candi lagi. Di sana kami melihat kerumunan orang semakin menyemut. Kami segera memutuskan untuk melihat keramaian itu lagi. 

Saat kami datang, sedang ada pertunjukan seni tradisional. Pagelaran tersebut termasuk salah satu rangkaian acara Dieng Cultural Festival 2012. Sebelum kami datang , sudah ada beberapa pertunjukkan. Kami hanya berkesempatan menikmati Tari Topeng Dieng. Kalau dilihat dari jadwal yang dikeluarkan Dinas Pariwisata, kenyataannya tidak sesuai. Telat banget acaranya!

Terik matahari benar-benar panas pada jam 1 siang. Anehnya hembusan angin terasa tetap dingin di tengah terik yang menyengat itu. Saya rela berdiri panas-panas untuk menonton Tari Topeng yang magis itu sampai selesai. Saya dapat melihat pada penari sedang dalam kondisi trans. Mereka menari, memakan bunga, dan memecut. Seram, magis, mistis, entahlah.

Selesai tari topeng, saya melihat beberapa anak perempuan menghampiri penari perempuannya untuk meminta secolek bedak. Saya dan Bela terheran-heran. “Untuk apa ya?” “Biar bikin cakep kali, yuk minta yuk!”

Awalnya kami malu-malu untuk minta, akhirnya dengan dalih foto bareng kami mendekati penari perempuannya. “Mbak boleh minta bedaknya?” kata saya akhirnya. Si penari dengan baiknya menyodorkan bedaknya itu. “Buat apa sih Mbak anak kecil minta bedak dari Mbak?” tanya saya penasaran.
“Biar nggak kesurupan,” jawabnya sederhana. Saya dan Bella berpandangan dan mulut kami membentuk huruf O. Owalah… kami pikir dengan minta bedak akan ada kepercayaan akan menambah kecantikan seseorang, sayangnya hanya untuk nggak kesurupan. Hahah J
the dancers, Bela, me, and Sofi behind us.

Sebelum balik ke Wonosobo, kami duduk-duduk dulu di warung makan cemilan, ada kentang goreng, kripik-kripik, dan sambil menyeruput purwaceng. Denger-denger sih purwaceng berkhasiat untuk menambah energi pria. Tapi kalau diminum perempuan gimana ya? Hehehe :D

Butuh satu jam untuk kembali ke rumah Pak Hary. Kami sampai sana kira-kira pukul 15.30. Masih ada waktu untuk ke permandian air hangat di Kalianget. Sebelumnya, istri Pak Hary sudah menyediakan mie ongklok buatannya untuk kami. Waaaah…. *o* kami semua tersentuh akan keramahan keluarga Pak Hary. Mienya enak banget! Karena dibuat dengan …cinta.. (halah..!) Tapi serius memang enak banget! Selain mie ongklok, kami juga disuguhi tempe kemul. Tempe kemul itu sejenis tempe mendoan yang menggunakan daun kucai.

Tidak semua rombongan pergi ke permandian Kalianget. Hanya ada saya, Bela, Ifa, Yuvi, Tika, dan Max. Permandian ini memiliki dua pilihan, kolam renang atau bath up. Kolam renangnya sih normal-normal saja. Sewaktu melihat bath up-nya. Jeng Jeng! Saya langsung patah arang. Lebih baik saya mandi dengan air dingin di rumah Pak Hary, daripada harus mandi air hangat di bath up yang sudah dipakai ratusan orang tanpa dicuci lebih dahulu. Ewww ogah!
Liat aja sumber air hangatnya berasal dari kali yang banyak sampahnya.

Dari 6 orang yang pergi, hanya Bela saja yang mencoba sensasi bath up-nya. Setelah keluar dari sana, dia no-comment gitu deh.. yaah…

Balik ke rumah Pak Hary, kami ngobrol-ngobrol lagi, ngalur ngidul, becandaan, cerita ini itu. Seru! Malam itu adalah malam terakhir kami bersama, karena besok kami akan pulang ke tempat kami masing-masing. Ada rasa sedih yang menyelinap tiba-tiba. Kami baru berkenalan kemarin, kami senang-senang bersama, tapi besok sudah harus berpisah. Sedih rasanya.

Malam itu kami mampir ke tetangga Pak Hary yang buka usaha pabrik oleh-oleh. Banyak kripik jamur, kacang dieng, kripik tempe, dan lain-lain. Yang lain banyak yang beli kripik-kripikan, saya hanya belanja teh tambi (teh khas Dieng) dan manisan carica. 

Malam itu karena lumayan lelah, kami tidur lebih awal, dan bersiap untuk acara pemotongan rambut gimbal di Dieng Cultural Festival 2012. 

kalau mau lihat foto-foto kami bisa mampir ke sini atau sini

Tetap ikuti dan simak catatan perjalanan ke Dieng di hari terakhir tetang pemotongan rambut gimbal. 

Untuk catatan perjalanan Dieng bagian pertama baca dulu di sini. 

No comments: