Friday, July 6, 2012

The Golden Sunrise of Sikunir dan Napas Raksasa Sikidang (Dieng Trip Part 1)


Ada sedikit oleh-oleh cerita dari Dieng, selain manisan carica. 

Tadi sore saya mendapat SMS dari Suci (teman sekelas), "Lu ke Dieng? Kok nggak ngajak-ngajak???" Untuk menjawab pertanyaan itu, 160 karakter sepertinya tidak cukup. Maka saya hanya membalas, "Lihat di blog aja, detailnya."

Jadi begini ceritanya... (*soksok pasang tampang misterius)
sebelum ke Temanggung, saya sudah mendengar desas-desus Dieng Cultural Festival 2012. Tertarik banget buat datang! Tapi, sama siapa??? Garing banget kayaknya kalo harus sendirian, walaupun nggak menutup kemungkinan juga sih. Siapa takut?

Selidik punya selidik, di forum CS ada beberapa orang yang tertarik juga untuk datang ke acara ini. Sayangnya, mereka sebagian besar berangkat dari Jakarta, Semarang, dan Jogja.  Saya berharap ada seseorang yang berangkat dari Temanggung. 

H-1 (28/6) saya masih belum mendapat teman ke sana, saya punya firasat 80% pasti akan pergi sendirian.
Pada pagi hari, saat hari H, (29/6), saya tiba-tiba dilanda sakit diare, sakit kepala, nggak enak badan, alamak sial banget! Gara-garanya kemarin saya kebanyakan makan cabai rawit! Ini alamat batal deh ke Dieng. Keluarga saya semua menyarankan untuk membatalkan trip ini. 
Tiba-tiba ada SMS masuk, "Alfi, saya dan teman saya akan berangkat dari Jogja ke Temanggung pukul 10.00 ya.." SMS itu berasal dari salah satu anggota CS. 

HOORAAY!!! Di detik-detik terakhir sebelum saya menyerah untuk membatalkan trip ini karena alasan kesehatan, akhirnya dapat teman juga ke Wonosobo. Thanks a lot to CS!

Dua orang itu bernama Willy dan Bella, mahasiswa jurusan sosiologi Atmajaya Jogja. Tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan orang baru. Obrolan kami langsung mengalir lancar jaya tanpa macet.
Sebelum melanjutkan perjalanan dari Temanggung ke Wonosobo, saya mengundang mereka untuk menyantap sate lontong di rumah. Keluarga saya pikir, mereka adalah teman lama saya. Hmm, mungkin agak lebih sulit bagi mereka untuk menerima penjelasan kalau saya katakan "Mbah, kami baru berkenalan 5 menit yang lalu!"

Antara Temanggung dan Wonosobo
Hanya  butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan bus colt pintu 2. Di dalam perjalanan, saya duduk di sisi jendela, di sebelah saya ada Bela. Wili duduk di depan kami. Saya dan Bela terus mengobrol, melantur ke mana-mana. Terselip pembicaraan mengenai media literacy, poskolonial, gender, dan tentang etnisitas.Tiba-tiba pembicaraan terhenti, saya terkesima sesaat, saat menoleh ke jendela, saya menemukan keindahan alam yang luar biasa. Gunung, sawah, langit biru dan gumpalan awan putih. Sepanjang perjalanan, kami melalui bentangan alam yang sangat cantik itu. Ahh, betapa besar karya agung Tuhan!

Pertemuan di Kalianget
Kalianget adalah nama dusun yang kami singgahi. Kami mendapatkan tumpangan untuk menginap di salah satu rumah anggota CS. Hanya butuh naik 2x angkot untuk sampai ke Kalianget dari terminal Wonosobo. Sesampainya di rumah Pak Hary (nama host kami), ternyata sudah ada 2 orang yang menumpang di sana, mereka Yuvi dan Ifa (kakak-adik). Kelak saya baru mengetahui ternyata Yuvi dan saya kuliah di fakultas yang sama. What a small world?
Sewaktu, saya-Bela-Willy sampai di rumah Pak Hary, tuan rumahnya masih di luar, jadi yang menyambut kami adalah istrinya. Ia sungguh ramah kepada kami. Tidak perlu waktu lama juga untuk berkenalan dengan istri tuan rumah dan anak-anaknya, serta berkenalan dengan Yuvi dan Ifa. Mereka semua orang baik J Tidak berapa lama, saya bertemu dengan Pak Hary. Disusul dengan kedatangan Max, cowok Kanada, yang mengendarai motor dari Pengandaran hingga Wonosobo. SALUT!!!

Saya agak sedikit speechless juga sih saat melihat Max untuk pertama kalinya. Oke, semua cewek di trip ini bilang Max itu ganteng. Masalahnya adalah, dia orang Kanada cuiii!!! kalau kalian baca blog-blog saya dua tahun lalu, tahu-lah ada apa hubungan saya dengan Kanada. Hehe.. Jadi, saya agak sedikit galau-galau gimana gitu. Oke, next!

Dan setelah Max, agak lebih malam, datanglah dua orang dari Semarang, yaitu Tika dan Sofi. Total ada tujuh orang baru yang akan menemani trip ini. Waah saya senang sekali dengan pertemuan ini. Terlepas dari kondisi saya yang agak lemah, karena perut saya sedang tidak beres, tambahan lagi sakit maag, dan badan agak kurang fit. Saya mencoba untuk mengacuhkan itu semua, dan fokus pada trip ini. Malam itu kami segera merundingkan acara untuk besok. Kami sepakat untuk berangkat pukul 03.00 dari rumah untuk mendaki Bukit Sikunir. Dalam hal ini, Pak Hary sangat baik, ia mencarikan supir angkot yang mau kita sewa untuk trip ini. Makasih sangat ya Pak!

ALASKA itu ada di Gunung Sikunir Wonosobo: Sebuah perjuangan untuk menemui Sang Surya.
this is the view from the half way to the top
Keesokan paginya, pukul 03.00 dini hari, angkot sudah menjemput kami. Perjalanan dari Dusun Kalianget ke Desa Sembungan membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Perjalanannya lebih singkat daripada waktu saya ke Bromo. Kata orang, Desa Sembungan adalah desa tertinggi di Pulau Jawa! Sekitar 2.100 m dpl. Wow!

Sayangnya, walaupun sudah berkali-kali meyakinkan diri sendiri bahwa saya telah sembuh, dan sudah saya coba untuk tidak mengeluhkan penyakit saya kepada orang-orang, akhirnya tubuh saya menyerah juga. SAYA MUNTAH! Tepat di saat yang bersamaan, angkotnya berhenti untuk menanyakan arah ke Gunung Sikunir. Sewaktu ke luar, saya melihat begitu banyak bintang di langit. Saya takjub. Keindahan kerlap-kerlip bintang seolah menguatkan saya untuk kembali sehat dan melanjutkan perjalanan. Pasca-muntah dan melihat bintang-bintang itu kondisi badan saya sudah lumayan enak.

Setibanya di area Gunung Sikunir, hal pertama yang harus saya atasi adalah suhu yang seperti di kutub. DINGIN SEKALI!!! Sanggupkah saya naik ke atas? Ada semacam pergulatan batin yang membutuhkan waktu beberapa menit untuk akhirnya memutuskan, “Ya, saya sanggup!”.
Sebelum memulai pendakian untuk melihat The Golden Sunrise of Sikunir, kami harus membayar biaya retribusi sebesar Rp3.000.
Langkah-langkah awal memang mulanya berat, saat itu suhu kira-kira kurang dari 10 C! Semakin ke atas, semakin tinggi tanjakannya, langit masih gelap, saya susah untuk melihat hal di sekitar saya. Napas saya mulai pendek-pendek. Saya hanya fokus pada satu hal: jalan setapak. Tidak ada pikiran lain. Tidak ada kata keluhan, saya harus mencapai puncak, demikian saya menyemangati diri saya.

taken from the top of Sikunir

Sebelum pukul 05.00, kami semua telah mencapai puncak Sikunir. Sang surya agak telat datang karena tertutup awan. Saya merasakan, “Inilah rasanya berada di puncak gunung, angin dingin nan sejuk, pemandangan yang permai, suasana yang membuat hati menjadi riang gembira”. Untuk beberapa saat saya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di saat yang bersamaan. Sekilas saya mengenang masa-masa menikmati sunrise di Bromo. Ah.. betapa menyenangkannya hidup ini. Saya sungguh bersyukur bisa melihat pemandangan sealami dan senatural ini. Tidak hanya kekaguman atas pemandangan alam saja yang saya dapatkan, pencapaian ini juga memberikan saya pelajaran. Pengalaman ini seolah ingin mengajarkan kepada saya, “Ini lhoo, setelah kamu bersusah-susah naik ke atas, sakit kamu lalui, akhirnya kamu mendapatkan hadiah yang indah tak terkira.” Benarlah pepatah yang mengatakan, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

among those flowers in the middle of Sikunir's jungle


Seusai sesi foto-foto, sekitar pukul 07.00 kami turun ke tempat di mana angkot kami menunggu. Di bawah sana, ada yang menjual sagon hangat, seharga Rp5.000/porsi. Lumayan untuk mengganjal perut yang lapar.
  Sebelum meneruskan perjalanan, dan sambil menunggu beberapa yang masih di toilet, saya dan beberapa teman foto-foto di danau Cebong. 
sat in the edge of Cebong Lake
Di sisi-sisi danau ini dipenuhi oleh lahan pertanian, sebagian besar menanam kentang. Aroma terasi kental tercium di area danau itu. Kami pikir petani di sini ada yang membakar terasi atau bagaimana. Kelak kami mengetahui dari Pak Supri, supir angkot kami, bahwa itu adalah aroma dari pupuk CM. Huahaha.. kami tertipu.

Kawah Sikidang: Napas Raksasa Dieng
Dari Sikunir ke Sikidang, tidak terlalu jauh, sekitar 30 menit kurang. Kawah Sikidang ini terletak di dusun Dieng Kulon, kecamatan Batur, dan sudah termasuk bagian dari Banjarnegara. Kata Pak Hary, Dataran Tinggi Dieng itu 80% milik Banjarnegara dan 20% milik Wonosobo, itu namanya politik teritori. Di tengah jalan, kami dicegat untuk membayar biaya retribusi sebesar Rp10.000 per orang, satu tiket berlaku untuk dua tempat, yaitu Kawah Sikidang dan Kompleks Candi. Berkat jasa diplomasi Willy, kami masuk kawasan ini dengan hanya membeli 5 tiket, padahal di dalam mobil kami ada delapan manusia. Lumayan ngirit J

Begitu turun dari angkot, segerombolan penjual masker mengerumuni kami. Mereka menjajakan masker dengan dalih di kawah sana nanti sangat bau. Apakah benar?? Well, saat pertama kali masuk kawasan kawah belerang itu, kesan yang saya tangkap adalah napas raksasa, telor busuk, kentut, dan segala bau-bau yang tidak menyenangkan. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, kami menemukan kawah vulkanik yang banyak dibicarakan orang-orang. Kawah Sikidang, dengan suhu lebih dari 98 C tidak henti-hentinya mendidih, “blup..blup…blup”. Asap putih dengan aroma khas belerang terus mengepul di atas kawah ini. Uniknya, lokasi ini menjadi tempat favorit untuk pembunuhan atau bunuh diri. Waaw…

Finally we reached the top of the hill!!
in the top of Sikidang hill.
Di saat yang lain masih asyik mengamati keajaiban alam itu. Max sudah berlari mendaki bukit kecil di samping kawah. Terpacu Max, tidak beberapa lama, saya, Bela, Ifa, dan Yuvi menyusulnya. Tidak semudah yang saya lihat. Kalau Max mendaki hanya cukup dengan lari-lari ringan. Tapi saya???? Saya harus sangat pelan-pelan karena takut tergincir. Ini bukit batu berpasir, rawan terpeleset. Bagaimana si Max bisa begitu lincah naik sampai atas?




see my face? was so happy after successfully got down from the top. Finally, I was saved!
Bagaimana catatan perjalanan selanjutnya?
to be continued... masih ada ulasan kawah sileri, danau merdada, nasi megono, mie ongklok, tempe kemul, itinerary ke dieng, dan masih banyak lagi. sabar yaa.. :)

No comments: