Sunday, September 12, 2010

Melihat Jakarta melalui "Byar Pet"--Novel Putu Wijaya yang pertama kali saya baca

Beberapa hari lalu, setelah mengikuti kelas Pengkajian Drama Indonesia, iseng-iseng saya bongkar-bongkar rak perpustakaan FIB UI yang hari itu sudah sangat sepi pengunjung, seperti museum di pagi buta (sepinya).
Iseng-iseng pula saya mencari buku-buku lawas.
Sudah hampir satu setengah tahun saya mengenyam pendidikan di program studi Sastra Indonesia FIB UI, belum pernah sekali pun membaca novel-novel Putu Wijaya. Lho apa hubungannya? nggak ada sih, berkenalan dengan pengarangnya saja belum pernah.

"Ah, susah ah, novel-novelnya absurd," keluh teman kampus di suatu siang saat sedang meneliti salah satu novel Putu Wijaya karena desakan tugas dari dosen.
"Kalau kamu tidak suka yang eksperimental-eksperimental, jangan coba-coba novelnya Putu Wijaya deh," saran seseorang entah siapa, saya lupa.
Saya sudah lama mengenal nama Putu Wijaya disebut-sebut, baik dalam kelas maupun di luar kelas. Sudah banyak pula saya mendengar komentar orang-orang mengenai karyanya. Jujur, sebelumnya saya termakan oleh komentar-komentar orang awam--katanya novelnya sulit dicerna. Saya menjadi takut dulu sebelum membaca.

Lama kelamaan saya tidak percaya, apa benar novel-novel Putu Wijaya sesulit itu? saya tidak yakin. Saya dapat tahan membaca Kakawin Sutasoma yang super tebal itu, kenapa tidak saya sulit membaca Putu Wijaya? toh hurufnya sama saja kan? A-B-C?? bukan tulisan mandarin kaan??

Dari sederet buku-buku kumal karya Putu Wijaya, akhirnya saya mengambil sebuah buku yang berjudul "Byar Pet".
Alasannya cukup mudah, yaitu buku itu sangat tipis--jadi saya tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikannya dalam kurun waktu lebih dari dua hari.

Liburan lebaran ini memberikan waktu yang sangat panjang untuk membaca, dari tujuh buku yang hendak saya baca untuk liburan kali ini, "Byar Pet" menduduki urutan antrian nomor tiga, setelah naskah drama "aa-ii-uu" dan "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan".

Dari lembar pertama "Byar Pet" saya tidak mengalami kesulitan untuk mencerna, demikian juga halaman-halaman berikutnya. Oh, syukurlah otak saya masih dapat berpikir dengan layak.
Hiraukan tentang 'kata orang-orang novel-novelnya sulit', saya tidak percaya setelah menyelesaikan membaca novel ini. Yah, saya bukannya mau sombong, mungkin juga orang-orang itu benar, mungkin novel yang saya baca ini tingkat kesulitannya untuk anak SMA, dan mungkin novel-novel yang teman-teman saya baca memang karya Putu yang lebih bagus, yang lebih sulit.
Mungkin juga, beberapa orang yang mengatakan novel Putu sulit dimengerti hanya karena mereka tidak mau berpikir keras, maunya membaca novel-novel menye yang alur ceritanya sudah jadi. Atau mungkin orang-orang itu tidak suka gaya sindiran Putu yang terlewat rumit. masa sih?
Saya sendiri mencekoki diri-diri saya dengan novel picisan ala Sandra Brown, atau novel menye-menye ala chicklit, tapi hal itu tidak menutup otak saya untuk membaca sesuatu yang harus menggunakan otak.

Lalu cerita "Byar Pet" itu seperti apa? Dimulai dengan perjalanan seorang pria yang hendak ke Jakarta mencari seorang teman yang bernama Marno. Dalam perjalanan, ternyata pria ini lupa membawa alamat yang dituju. Hanya berbekal dengan uang dan baju ganti yang pas-pas-an pria ini akhirnya tetap berniat ke Jakarta. Seingat pria ini nama temannya adalah Marno, tapi di Jakarta ia melihat ada orang yang mirip sekali dengan Marno, namanya Pak Sumarno. Pria ini bersikeras mengatakan 'bukan dia orang yang saya cari'. Setelah dia melihat langsung Pak Sumarno, dan yakin betul itu bukan temannya, pria itu hendak kembali pulang ke desannya. Di dalam perjalanan itu ia masih mengingat-ingat nama kawan yang hendak ia tuju. Sekembalinya pria itu ke desa, ia langsung teringat nama sahabat yang ia kemarin cari di Jakarta, namanya Kropos--yang tak lain tak bukan adalah nama dia sendiri.

Mengejutkan bukan? baiklah, saya memang bukan pencerita ulung, kalian lebih baik membaca novel ini sendiri. Novel ini mengajak kita melihat kehidupan sehari-hari yang kadang-kadang luput dari perhatian kita. Contoh, kita sering mengandalkan kertas untuk mencatat semua hal-hal penting, sampai kita lupa bahwa kita diberikan Tuhan otak yang gunanya juga sama--untuk mengingat hal penting--coba bayangkan suatu hari kertas itu tertinggal atau basah? kalian akan kalang kabut, karena kalian malas untuk mengingat segala sesuatu dengan otak yang diberikan oleh Tuhan secara cuma-cuma.

Hikmah yang dapat saya ambil lagi, adalah tentang pencarian jati diri. Tidak perlu saya jelaskan, mungkin kalian bisa membaca sendiri (ayolah baca buku, jangan cuma nonton!!)

"Byar Pet" juga mengajak kita berjalan-jalan membayangkan situasi Jakarta waktu macet belum terlalu parah seperti sekarang, kita juga diajak berpikir ala orang desa yang baru pertama kali ke ibukota. Semuanya serba baru dan takjub.
Saya jadi ingat kata dosen Pengkajian Drama Indonesia, Ibu Riris Sarumpaet, bahwa teater mengangkat konflik manusia yang paling hakiki. Saya dapat melihatnya pada novel Putu Wijaya--terlepas beliau juga adalah seorang yang bergelut di bidang teater.
Berarti benar kata Ibu Riris, bahwa biasanya penulis naskah drama selalu menampilkan permasalahan kehidupan sosial yang paling mendasar. "Sesudah pulang dari pertunjukan teater, biasanya kita menjadi seperti dibersihkan-disucikan--pemikiran kita menjadi diperkaya. Dan lebih memaknai hidup," begitulah kira-kira kata Ibu Riris pada kelas terakhir yang saya hadiri.

Membaca novel ini hampir sama dengan menonton teater, sama-sama membuat saya mempertanyakan makna hidup. Putu Wijaya berhasil memberitahu saya apa yang disebut konflik sosial yang paling hakiki.

No comments: