Thursday, October 21, 2010

Genjer-genjer dan Sawo Kecik


ditulis H-2jam sebelum detikdetik terakhir dikumpulkan.
agak sedikit aneh menurut saya ceritanya, jadi maklum aja ya.

Lembar Tugas Mandiri Mata Kuliah Penulisan Populer

Tulisan Narasi

Alfi Yusrina

0906527351

Sekotak nasi dengan lauk genjer rebus adalah menu makan siangku hari ini. Ya, hanya genjer rebus. Ada 5 batang genjer rebus di kotak makan bergambar Keroppi—hadiah dari tetanggaku yang hobi memelihara perkutut. Ibu selalu membekali 5 potong genjer rebus setiap hari Kamis. Kata ibu, genjer rebus baik untuk pencernaan. Aku tidak percaya pada alasan itu. Aku rasa Ibu memiliki motif lain, selain dia adalah seorang mantan anggota Gerwani.

Setelah jam mata kuliah Bahasa Italia berakhir, pukul 10.00, aku segera mendaratkan bokongku untuk duduk di depan Laboratorium Bahasa Gedung IV. Cacing-cacing kremi di perutku berdendang ria untuk menyantap genjer rebusan ibuku. Aku mengunyah genjer pelan-pelan, takut mengenai 7 sariawan di bibir. Hari ini aku sedang malas ke Kansas (Kantin Sastra), terlalu penuh asap rokok membuat mataku pedih.

Aku heran hari ini taman Arkeo sangat sepi. Hanya ada aku dan seorang anak laki-laki penjual koran yang sedang membaca barang dagangannya. Kami duduk berjauhan. Ia duduk di atas patung babi hutan di pojok kiri taman, sedangkan aku duduk di bangku taman dekat goa kecil di pojok kanan taman Arkeo. Ke mana perginya mahasiswa sastra Korea? Biasanya, setiap hari aku selalu melihat mereka bercengkrama di taman ini.

Aku mengunyah genjer yang pertama. Aku tidak tahu pasti pohon apa yang melindungi kepalaku dari mentari pukul 10.00. Aku hanya dapat merasakan oksigen yang dihasilkan pohon itu untukku. Segar. Burung-burung gereja masih bersiul-siul. Terdengar cerewet memang, Lihat, awan kelabu di atas kepalaku, warnanya kelabu. Akankah segera datang hujan di langit Depok?

Aku mengunyah genjer kedua. Mataku menyapu semua pemandangan di taman areko. Empat arca dewa Hindu-Budha, entah siapa nama mereka, aku tidak terlalu ambil pusing. Di bawah arca dewa-dewa itu ada dua patung babi hutan dengan hidung pesek, aku rasa semua babi berhidung pesek. Salah satu patung babi itu sedang dikangkangi bocah penjual koran sambil berlagak serius membaca koran.

Sudah tiga tahun aku mengenyam pendidikan di FIB UI ini. Setiap kali aku merenung di bawah pohon rindang taman Arkeo selalu ada rasa penasaran pada asal usul goa di pojok kanan taman. Apakah isi di dalam goa itu? Tidak pernah ada satu mahasiswa di fakultas ini yang tahu. Tidak anak program studi arkeologi ataupun sejarah. Lantas, siapa yang membuat goa bermulut kecil nan suram itu? Ah, itu sudah lama ada, sudah ada sebelum gedung-gedung FIB UI dibangun—begitulah penjelasan dangkal yang sering aku temukan.

Aku mengunyah genjer ketiga, nasi di kotak makan sudah habis mendahului genjer-genjer itu. Aku pandangi langit sekali lagi. Awan-awan kelabu tercerai berai. Samar-samar aku dengar suara gemuruh petir. Warna langit tidak terlalu cerah hari ini, sama seperti suasana dosen bahasa Italiaku pagi tadi. Aku menghitung dengan logikaku sendiri, beberapa saat lagi akan datang hujan deras. Angin sudah menggeser-geser awan kelabu tebal di bawah langit taman Arkeo. Lima menit lagi mungkin saat itu tiba. Nah, benar dugaanku. Tidak sampai lima menit ada setitik air dari langit mengenai pangkal hidungku.

“Kamu butuh tempat berlindung?” tanya sesosok pria yang tiba-tiba membawakan payung ungu. Aku seakan mendapat serangan jantung. Ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutku saat ini. Bedah saja coba!

Aku memandangi wajah pria itu untuk sepersekian detik, sebelum otakku yang lelet mengenali siapa dia. Rambutnya panjang, warnanya pirang khas bangsa Eropa Timur, ia mengenakan baju zirah panjang dengan tabung panah di belakang punggungnya. Kupingnya lancip. Hidungnya bangir. Matanya biru. Dia berbicara dengan bahasa lain, herannya aku mengerti. Bahasa yang diciptakan JRR Tolkien, ya, dia berkata-kata dalam bahasa Quennya.

“Kamu bukannya tinggal di New Zealand?” tanyaku sebelum menjawab pertanyaan pria itu. Aku kaget mengapa ia ada di kampusku tercinta ini.

“Tidak, rumah asliku di sana,” jawab pria itu seraya menunjuk mulut goa. “Ayo, aku ajak kau melihat-lihat isi rumahku. Aku sudah memperhatikanmu sejak kau sering mengunyah genjer-genjer setiap hari Kamis tiga tahun yang lalu. Aku tahu sebenarnya kau penasaran ingin masuk ke goa itu, tapi kau terlalu penakut untuk masuk sendirian. Ya kan?”

Tidak. Tidak mungkin seorang peri dari negeri Hobbit menggandeng tanganku memasuki mulut goa. Aku takut masuk ke sana. Aku belum siap, sekalipun Legolas yang saat ini sedang aku hadapi. Ya benar, dia adalah Legolas saudara sepupu Arwen Evenstar. Aku sudah lama mengenalnya melalui novel trilogi The Lord of The Rings. Tepat tiga tahun yang lalu.

Entah karena ketampanan Legolas yang memukau, atau karena dia adalah tokoh yang nyata, aku tidak sadar sudah berapa lama aku berteduh di rumahnya. Aku tidak sadar aku aku telah melewati mulut goa yang angker itu. Semuanya berlalu begitu cepat.

Apa yang disebut rumah tidaklah seperti rumah manusia seperti umumnya. Rumah Legolas seperti goa-goa kosong di situs candi Ratu Boko, 200 meter dari candi perambanan. Di dalam goa itu—rumah Legolas maksudku—hanya ada dua bongkahan batu hitam. Dua batu hitam itu berfungsi seperti sofa. Kami sedang menduduki batu itu.

Dia menyerahkan sekotak besek. Aku mendongak menatapnya, terperangah tidak percaya. Apa itu? Tanyaku dalam hati.

“Terima saja,” suaranya lembut. “Hujan sebentar lagi akan reda. Bukalah kotak ini setelah kau sampai di rumah,” pesannya dengan nada yang membuatku penasaran.

Benar, seketika hujan itu berhenti, dan sinar mentari masuk menerobos mulut goa. Seperti tidak pernah terjadi hujan beberapa menit yang lalu. Ilusikah itu semua? Legolas bangkit dari sofa batu itu, dan menuntunku menuju bibir mulut goa. “Sampai jumpa,” itulah kata terakhirnya sebelum aku melangkahkan kaki menuju halaman luar.

Aku menoleh ke belakang, dia sudah menghilang. Hanya ada gelap di kedalaman goa. Aku membawa kotak besek itu dengan hati-hati. Siapa tahu di dalamnya adalah kotak emas atau intan permata. Hahaha, aku tertawa karena piciknya pikiranku sendiri.

Setelah kejadian yang masih belum sepenuhnya aku mengerti, aku pulang dengan kereta ekonomi. Sesampainya di rumah, masuk kamar, lalu membuka kotak itu.

Aku lebih terkejut lagi ketika mendapati kotak itu berisi lima buah sawo kecik dan ada secarik kertas bertuliskan, “Aku senang memandangimu dari dalam goa, saat kamu melamun atau mengunyah genjer-genjer itu. Raut wajahmu begitu polos, aku menyukaimu. Ini ada sedikit oleh-oleh dari kerajaanku di New Zealand. Salamku, Legolas.”


3 comments:

Fitria Sis Nariswari said...

haha
alfi, ternyata yang goa-goa itu punya kamu ya???
Ehm, bagus banget, cuman, bakal lebih bagus lagi kalo genjer2 dan goa ada benang merahnya. Soalnya, kalo aku lihat, genjer2 membentuk cerita sendiri, terus Legolas membentuk cerita sendiri. Sementara judulnya genjer-genjer dan sawo kecik....
heheh

natureahead said...

hehhehe iya I'a makasih udah mampir ke sini, iya ini cerita memang gak ada maksud apa-apa kok, intinya aku seneng banget bisa ketemu Legolas, :)

Fitria Sis Nariswari said...

wahaha
oke oke
emang cakep sih legolas itu... kalo aku ketemu dia juga bakalan seneng...

iya nih, lagi pengen menghidupkan kembali blog yang hampir mati. Udah tiga kali ganti blog. Yang pertama, dulu udah jalan, terus aku otak-atik layout-nya, eh, malah rusak. gak bisa ditambah apa2 lagi.
Terus yang kedua, mengalami nasib yang sama.
Ini yang ketiga. Baru aktif nulis lagi di sini, akhir2 ini...
hehe
*kok malah curcol???