Monday, December 26, 2011

Cikini dan Temanggung: Sebuah pilihan antara Profesionalitas dan Urusan Keluarga

Depok-Cikini-Gambir-Semarang-Temanggung-Yogyakarta-Jakarta-Depok

Jumat, 16 Januari 2011.

1. Depok,
"Alfi, Alfi, Mbah Raden meninggal." suara Mbak Dwi, tante saya, di ujung telepon. Suaranya terpatah-patah, sesenggukan.
"Apa? siapa??" tanya saya, tidak jelas suaranya. Saya berpikir seseorang kerabat jauh telah meninggal. Setelah pembicaraan yang agak alot, saya mengetahui siapa yang meninggal dari mama. Tak lama setelah Mbak Dwi menelpon, mama menghubungi saya, katanya, "Alfi, mbah kakung meninggal, kamu mau pulang sekarang nggak?"

*siiing*
"Aku nggak bisa mama, aku masih kuliah!" saya mengelak. Ada sejuta alasan mengapa saya harus menunda kepulangan ini.
dan perdebatan yang alot terjadi. Saya menyuruh mama untuk terbang duluan, dan saya akan menyusul kemudian.
Hari itu saya ada janji untuk tampil di Kedai Tjikini. Kalau saya membatalkan acara ini, saya akan merepotkan banyak orang.

Di lain sisi,
Melly SMS, "Alfi, si Ius wisuda tanggal 7, gimana ini tiketnya? Alfi kok nggak bilang kita jalan-jalan sampai tanggal 6".
*DEG!* komplainan dari Melly yang membuat saya jantungan.

Vini SMS, "Fi, kapan kita ngerjain tugas SasLis? Vini sudah ada di perpus"
*DEG!* lagi.

Di waktu yang bersamaan, saya sedang rapat acara kampus.

Ada lima hal yang harus saya pikirkan saat itu juga. Dan kelima-limanya sangat penting, walaupun tingkatnya berbeda-beda.

Hal pertama yang saya selesaikan,
1. urusan rapat acara saya tuntaskan.
2. menemui Melly di kantin, dan berunding mencari jalan keluar.
3. menemui Vini di perpus, dan berunding juga.
4. Pergi ke Cikini untuk penampilan Gerakan Membaca Sastra
5. pulang ke Temanggung.

Sungguh, hal ini berat bagi saya. Untuk memilih antara profesionalitas dan urusan keluarga. Boleh jadi saya egois, karena mementingkan profesionalitas, daripada urusan keluarga. Tapi, saya punya alasan kuat kenapa saya memilih pilihan ini. Dan saya tidak merasa bersalah karenanya.

2.Cikini,
saya melakukan pembacaan Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer di Kedai Tjikini. Lebih lengkap bisa baca di sini.
Entah sebuah kebetulan atau bagaimana, tapi saya rasa ini adalah takdir.
Bukan Pasar Malam sebuah novel yang bercerita, ada seorang anak yang terpaksa pulang dari perantauan karena ayahnya sakit keras, setelah anak itu pulang, seminggu ia di kampung halaman, ayahnya akhirnya meninggal dengan tenang.
Kalau saya mau mengaitkan cerita ini dengan kehidupan saya, jelas ada benang merahnya, yaitu saya harus kembali pulang karena kakek saya telah meninggal.

3. Gambir,
dengan kebaikan Hana dan pacarnya, dari Cikini ke Gambir, saya diantar dengan sebuah sedan mewah. (well, bukan itu masalahnya)
TERNYATA, saya terlalu menggampangkan masalah. Saya pikir Gambir akan sepi. Ternyata antrian tiket sangat panjang. Saya benar-benar lupa, hari itu adalah hari Jumat. Orang-orang kantor kembali ke kampung halaman mereka.
Dan sialnya, tepat di hidung saya, tiket Jakarta-Jogja terjual habis untuk malam itu.
Tanpa membuang waktu, saya meroket ke loket seberang yang menjual tiket Jakarta-Semarang.
Pfuiiih... saya ambil napas sejenak. Masih ada tiket untuk saya.

"Ma, aku pulang lewat Semarang ya."
"Kamu tau jalannya dari Semarang ke Temanggung?"
"Nggak, ah gampang lah itu. Nanti aku tanya-tanya orang."
"Mama tungguin aja deh kalo gitu."
"Mama di mana?"
"Mama baru sampai di bandara Semarang."
"Hah?"

dan pembicaraan antara ibu dan anak terhenti.

Kereta Argo Bromo Anggrek, Jakarta-Surabaya, yang berhenti di Cirebon dan Semarang, adalah sebuah kereta eksekutif yang keren. Saya memang sudah lama tidak naik kereta eksekutif. Saya tidak tahu kalau ternyata lebih canggih.
Ada colokan listrik, penumpang bisa mengisi daya handphonenya, atau laptopnya.
Ada wifi-nya juga.
Ada welcome drink-nya juga. segelas cappucino hangat.
Eits, tunggu dulu, ternyata cappucinonya bayar, sebesar Rp10.000.
aah payah, ditipu! Tapi memang rejeki nggak pernah kemana-mana, ada bapak-bapak di seberang kursi saya bilang, "Nggak usah dek, saya bayarin semuanya."
refleks saya bilang, "Makasih, Om!" dengan senyum manis andalan saya. :)

Oh ya, teman seperjalanan saya adalah seorang kakek tua yang banyak bercerita tentang kehidupannya. Oke, bagian ini bisa kita lewatkan?

4. Semarang,
Kereta merangkak selama 8 jam, saya tiba di St. Tawang Semarang pukul 4 pagi. Mama sudah berdiri bersama temannya. Kami segera diantar menuju Temanggung.

Sabtu, 17 Desember 2011
5. Temanggung,
perlu waktu kurang lebih 2 jam untuk tiba di Temanggung.
Hal pertama yang saya rasakan begitu melihat keluarga di Temanggung, adalah perasaan rindu yang meluap.
Jasad Mbah Kakung sudah terbaring tenang di ruang tamu. Ada sedikit perasaan ganjil yang sempat saya rasakan entah mengapa.
Misa requiem dilakukan. Setelah itu prosesi penguburan yang dilaksanakan menggunakan adat Jawa. Saya kebagian menaburkan beras kuning dicampur bunga dan koin-koinan selama perjalanan mengiring jenazah dari rumah ke pemakaman.
Rumah Mbah tidak pernah sepi pelawat, dari pagi hingga subuh, dan ini akan terus berlangsung hingga seminggu ke depan setelah kepergian Mbah Kakung.
Mbah Sih (nenek saya) nampak sangat tegar atas kepergian mantan suaminya itu. Ia melayani tamu-tamu dengan sangat ramah.
Dapur tidak pernah berhenti berasap, di belakang orang-orang bergotong royong memasak untuk tamu-tamu yang terus berdatangan. Saya salut dengan cara kerja orang-orang di desa, yang tidak pernah saya temukan di kota Jakarta. Sebuah kerelaan hati yang benar-benar ikhlas untuk menolong sesama.

Malamnya, kami mengadakan doa rosario, untuk meringankan dosa-dosa Mbah Kakung. Doa ini akan berlangsung selama 7 hari berturut-turut.

Minggu, 18 Desember 2011.
Saya dan mama mengelilingi pasar tradisional sepulang misa di gereja. Ini adalah sebuah momen yang indah. Mama bercerita tentang masa kecilnya di desa yang telah lama ditinggalkannya ini.
di rumah kami, tamu-tamu terus saja berdatangan. Saya sedikit lelah menyambut mereka. Saya salut dengan Mbah Sih, yang selalu bersemangat menyambut tamu-tamu itu.

Senin, 19 Desember 2011.
Inilah yang saya benci. Perpisahan. Saya dan mama harus kembali ke Jakarta. Selasa saya ada kuliah. Dua malam di Temanggung tidak cukup menutupi rindu yang menumpuk. Saya masih ingin merasakan suasana "rumah" yang sesungguhnya. Saya rindu mereka!!! begitu pula mama, walaupun dia tidak menunjukan suatu ekspresi apapun, saya tahu, dia masih ingin di kampung halamannya itu. Saya tahu, Ma.

6. Jogjakarta,
kami naik pesawat melalui Jogja. Inilah kampung halaman saya selain Temanggung. Tempat bapak saya dilahirkan dan dimakamkan. Saya rindu BAPAK!!!! rinduuu sekali. Saya rindu keluarga di Jogja.
Kami sampai di Jogja sekitar pukul 12 siang. Setelah bertemu Mbah Kakung dan Mbah Putri, dan beberapa sepupu, tante, dan om.
Saya dan Mama jalan-jalan sebentar ke Pasar Gede. Ini juga sebuah momen yang indah buat saya, saya dan mama berjalan berdua, bersama-sama, seperti dulu. Sebuah masa yang telah lama hilang. Mengingatkan saya akan masa lalu bersama keluarga di Jogja, ketika bapak masih ada :((

8 jam di Jogja tidak cukup! Kami harus mengejar pesawat menuju Jakarta. SAYA BELUM PUAS!!
saya rindu Jogja, terutama atas kenangan-kenangan yang indah bersama bapak.
Saya rindu! Kerinduan ini belum selesai terbayarkan.
Saya belum menengok makam bapak. Maaf ya Pak.

7. Jakarta,
dua jam setelah itu, tiba-tiba saja saya telah berada di rimba belantara bernama Jakarta.
Tugas, macet, kesibukan, tekanan, masalah, semuanya ada di kota ini.

Tuhan!!


No comments: