Friday, December 16, 2011

Cara Lain Menikmati Sastra: Sebuah gerakan membaca sastra



Banyak orang bilang ke saya bahwa karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, Putu Wijaya, dll itu susah dimengerti. (Sebenarnya susah dimengerti atau memang malas untuk berpikir?)


Kalau sastra selalu identik dengan hal-hal yang berbau ngejelimet, atau susah dipahami, sekarang nggak perlu lagi takut dengan hal itu. Ada banyak cara untuk menikmati sastra. 
Salah satunya, bisa dengan berkumpul dengan teman-teman, cukup 2-8 orang, membaca secara bergilir karya sastra yang menarik, dan setelah itu lakukan diskusi, selain membantu pemahaman kita, juga menambah wawasan, karena kita akan mendengar berbagai opini dan pemahaman orang lain atas sastra yang kita baca. Bisa jadi pemahaman A dan B berbeda, tapi dengan perbedaan itu kita justru mendapat pengetahuan yang lebih. 


Dan buat orang-orang yang malas baca buku, ada cara lain kok, kalian bisa datang ke komunitas-komunitas sastra, biasanya mereka membuat perkumpulan kecil dan membaca secara bergilir, dan kalian bisa duduk manis sambil menikmati pembacaan sastra tersebut. 


Sama halnya, kalian bisa menikmati...saya. 


 

This was my first show!

Pernah baca novel tertipisnya Pramoedya Ananta Toer?
Jumat, 16 Desember 2011, saya berkesempatan membaca karya Pram yang berjudul Bukan Pasar Malam. Ini adalah penampilan perdana saya. Sebuah kesempatan yang amat langka, bisa membacakan karya dari tokoh sastrawan terkenal di depan publik.

Lho kok bisa?
waktu awal Desember, saya iseng-iseng buka laman Dewan Kesenian Jakarta, lalu ada sebuah acara bernama Gerakan Membaca Sastra. Acara ini salah satu rangkaian acara untuk menyambut Jakarta Biennale #14. Saya niatnya mau datang ke acara ini, mau liat-liat aja.
Saya kirim email ke Mbak Icha, yang mengurusi acara ini. Eh, dia minta saya untuk kirim CV.

Seminggu setelah mendapat tawaran itu, saya belum juga membalas emailnya Mbak Icha.
Hingga, suatu sore di kelas Sastra Populer, dosen saya, Ibnu Wahyudi, berkata, "Eh kalian datang aja ke Kafe Cikini, ada acara Gerakan Membaca Sastra, lumayan kalau datang ke sana dikasih voucher Rp25.000 dan kalau baca buku dapat Rp200.000"

Sontak seisi kelas mulai heboh, pasalnya ini menyangkut soal $$$, hehehe.
Nggak muna lah kami. :)
Sepulang kuliah, saya segera membalas tawaran Mbak Icha itu, kirim CV dan segala macam. Saya nggak tahu sebelumnya kalau datang dan duduk-duduk doang bisa dapat rejeki. heheh, makasih ya Mas Iben :)

Nggak berapa lama setelah mengirim email tersebut, saya dihubungi Mbak Icha, ia memberitahu bagian mana yang harus saya baca.

Seminggu sebelum penampilan saya ini, saya berkunjung ke Kedai Tjikini tersebut, untuk melihat-lihat bagaimana para pembaca lainnya. Wah, mereka semua piawai. Suaranya bagus-bagus, dan mahir berimprovisasi. Agak jiper juga sih awalnya. Tapi, ya gak ada salahnya lah ya dicoba, namanya juga cari pengalaman. :)

Di kelas, saya juga pamer-pamer sana-sini. "Eh, pada nonton yuk penampilan saya di Cafe Cikini!"
Usut punya usut, beberapa teman ada yang ngelamar untuk membaca karya Pram, tapi ditolak sama Mbak Icha, soalnya kuotanya sudah penuh. Dalam hati saya merasa beruntung sekali sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan untuk mengisi posisi itu. Saya juga bingung, kenapa saya yang dipilih, padahal kata Mbak Icha yang ngelamar banyak juga. Ada sedikit rasa bangga juga :)

Jeng.. jeng... Jumat, 16 Desember 2011.
Jam 10 pagi saya dihubungi tante di Temanggung, ia memberitahukan kalau kakek saya baru saja meninggal. Saya dan mama disuruh segera pulang.
Saya sempat dilema. Karena satu dan lain hal, kalian boleh bilang saya egois, tapi saya ada alasan kenapa saya tidak membatalkan acara GMS ini, dan menunda kepulangan saya ke Temanggung setelah acara ini selesai.

Ini bukan masalah honor yang akan saya terima. Jauh lebih dari itu.

Sebelum saya membaca di depan publik, saya beberapa kali latihan dahulu. Tapi, karena kakek saya meninggal hari itu, saat tiba di Kedai Tjikini, saya meminta Mbak Icha untuk menukar urutan membaca bagian saya dengan bagian orang lain yang lebih awal.
Dan sia-sialah semua latihan baca yang telah saya lakukan selama ini, karena yang saya baca itu adalah bagian yang belum saya latih. Pelajaran untuk saya, bahwa kita itu harus bersiap-siap diri untuk segala sesuatunya. Apapun itu.

Dan saya senang, sore itu banyak teman-teman saya yang datang menonton. Terutama Hana, teman baik saya, pacarnya Hana, kami sudah lama tak bertemu. Lalu ada Leo, penyiar Trax Fm, dan rekan seperjuangan di Wartakota dulu. Ada penonton-penonton lain, gara-gara saya membaca hari itu, saya menjadi kenal banyak orang. Salah satunya ada dua orang seniman dari Lampung. Sedikit bincang-bincang dengan mereka, membuat saya mendapat wawasan baru soal banyak hal. Teman baru adalah jendela baru untuk melihat dunia. :) Jadi, kenapa menolak untuk selalu berkenalan dengan orang-orang baru?


Setelah selesai membaca dan makan malam, saya segera bergegas ke Stasiun Gambir untuk segera pulang ke Temanggung. Dan, saat itu juga, hati saya terpuaskan. :)

Saya berharap acara ini tidak hanya berhenti sampai hari itu saja.
Membaca karya sastra di depan publik, bisa di kafe, bisa di perpustakaan, bisa pinggir danau, bisa di mana saja.
Ayo gerakan membaca! Budayakan membaca sastra, atau oke, minimal membaca buku apapun.

Bentuk komunitas kecil saja, 4-5 orang, buat kota dipenuhi orang-orang dengan wawasan tinggi dan semangat untuk membaca sastra.
Rekam pembacaan tersebut, dan buatlah sebuah audiobook untuk tunanetra. Ini lah alasan terbesar saya kenapa saya ingin ikut acara GMS ini. Karena suara saya dapat disumbangkan untuk tunanetra. Kita membantu para tunanetra untuk mengenal sastra.

Ayo, bergerak membuat perubahan! Gerakan membaca sastra di depan publik, selain memberikan orang-orang inspirasi, kita juga dapat membantu saudara-saudara kita yang tidak dapat membaca, kita bisa membuat amal karenanya.

Ayo semangat!


No comments: