Hari ini adalah kencan kedua kami. Kencan pertama kami 2 tahun yang lalu, saat musim gugur, setelah turnamen Tour de Flanders.
Kencan pertama mungkin hanya berlangsung 10 jam. Hubungan apakah yang kami miliki? Entahlah. Tiada hari tanpa bertukar ucapan selamat pagi dan selamat tidur.
Terlalu jauh. Kami terpisah sekitar 600 km. Kami tinggal di negara berbeda. Hubungan ini sudah hampir 3 tahun terjalin. Setelah kencan pertama, sepertinya tidak ada tanda-tanda untuk kencan-kencan berikutnya. Setelah penantian hampir 2 tahun, dia mengajak kencan kedua. Kencan kedua kami hanya berdurasi sekitar 24 jam. Aku tidak mau mengeluh soal ini.
Aku menjemputnya di bandara. Peluk. Tanpa kata. Kikuk. Kami bertatapan sebentar. Lalu sebentar, semua itu melumer. Ini pertama kalinya aku bertemu dengannya di siang hari. Pertama kali pula aku mendengar cerita-ceritanya yang panjang kali lebar kali luas dan tinggi. Di WhatsApp dia tidak terlalu banyak bicara, biasanya aku yang lebih sering curhat. Di pertemuan kali ini, dialah yang lebih banyak curhat. Curhatannya tentang politik, drama kantor, dan rumahnya. Aku tidak keberatan mendengarkan keluh kesahnya. Dia juga mendengarkan keluh-kesahku. Tapi aku tidak punya banyak ide untuk berceloteh ketika dia menatapku dengan mata besarnya. Aku sering terpana melihatnya.
Siang itu kami menghabiskan waktu di sebuah kantin, karena aku tidak minat berpanas-panasan di luar. Di sela-sela percakapan, jika aku tidak memulai duluan, dia tidak akan memulainya, bergenggaman tangan di bawah meja. Saat kami berjalan berdampingan, ia pun demikian. Aku harus mengambil aksi terlebih dahulu, mengalungkan lengannya di bahuku.
Sesampainya di kamar hotel. Ia langsung menggosok gigi. Aku pun ikutan. Berciuman. Ciuman tanpa lidah. Entahlah kenapa.
Ya, ini pengalaman pertama kami membuat kamar mandi seperti situs pembunuhan. Dinding penuh jejak jemari berdarah. Darah di mana-mana. Tidak hanya kamar mandi, tempat tidur pun ternoda dengan darahku. Bahkan darahnya menyerap hingga pelindung matras. Aku berharap dia tidak pingsan melihat darah segar mengalir di antara pahaku. Haha.. Tenang, semuanya aku bersihkan dengan air lensa kontak. Mudah.
Kami berputar-putar sebentar setelah makan malam. Setiap menit dia selalu bertanya apakah aku baik-baik saja. Ya, jawabku. Rautnya sedikit ragu. Lalu, kuberi senyumku dan merangkul tangannya. "Aku baik-baik saja selama ada kamu di sampingku malam ini." ujarku.
Malam terasa sangat panjang dengan suhu yang panas. Keringat kami bercucuran. Tidur kami pun terputus-putus. Saat tidak bisa terlelap, aku menaruh daguku di dadanya dan menatap parasnya. Aku masih seperti dalam mimpi bertemu dengannya kembali.
Di tengah malam, kamar di atas kami membuat suara gaduh, aktif sekali pasangan di atas. Kami menaruh taruhan, pasangan straight atau gay. Aku yang menang esok paginya.
Di tengah malam, kamar di atas kami membuat suara gaduh, aktif sekali pasangan di atas. Kami menaruh taruhan, pasangan straight atau gay. Aku yang menang esok paginya.
Pagi harinya kami habiskan dengan bersantap sarapan bersama, mengunjungi istana, lalu curhat-curhatan di taman, dan diakhiri dengan makan es krim sebelum mengantarnya kembali ke bandara.
Di bandara aku mencoba untuk tidak menangis. Aku sedih, karena pertemuan ini sungguh singkat. Dia sempat melarangku untuk mengantarnya ke bandara. “Kamu hanya membuang-buang waktumu saja,” ujarnya. “Waktu kita tidak banyak, aku mau sampai detik-detik terakhir menghabiskannya denganmu” dan dia tidak berdebat lebih lanjut.
Saat memberikan pelukan terakhir aku tidak dapat menatap matanya. Ia mengangkat wajahku dengan kedua tangannya,"hey, lihat sini. Kita pasti bertemu lagi”
Entah kenapa, aku ada sedih yang menggerogoti dadaku. Selepasnya berpelukan, kami berpisah, aku tidak menoleh balik. Kalau pun kami tidak bertemu lagi, aku sudah puas. Ada pengalaman yang tidak terlupakan yang dapat kuceritakan di sini.