Mengapa aku menyebut mereka gila? yah, otak kedua pria tersebut benar-benar tidak ada yang beres. Percayalah. Senin, satu hari sebelum kembali ke Jakarta, aku bersama kedua pria--yang sama-sama aku temukan lewat dunia maya--melesat dengan motor menuju candi-candi di selatan candi Prambanan. Gilang menjemputku, dan kami menemui Asep yang ternyata dia tidak membawa temannya, awalnya kami akan pergi berempat, akhirnya aku berpetualang bersama dua cowok stress.
Rencana awal, rute kami adalah ke Kaliurang dan Candi Ratu Boko. Akhirnya, menimbang dan memutuskan satu dan lain hal, kami menetapkan rute kami hari itu adalah: Candi Plaosan dan Candi Ratu Boko.
Sesampainya di Candi Plaosan, kami dimintai uang suka rela untuk membayar satpam yang sedang berjaga. Kawasan candi itu terbilang kecil bila dibandingkan dengan candi Prambanan. Sejak gempa yang melanda Jogja tahun lalu, banyak sekali arca-arca yang runtuh dan belum diperbaiki (Pemerintah hanya bisa membual akan perbaikan situs-situs ini, omongan mereka semua sampah!!).
Saya kecewa banyak patung-patung yang kepalanya hilang, entah karena patah atau diculik orang ke negara asing.
Sebenarnya candi ini tidak ada apa-apa, hanya sebuah batu tua yang mengandung sejarah, sebuah bongkahan batu tua yang tidak dapat menceritakan riwayat kehidupannya sendiri.
Kami bertiga hanya duduk menunggu perut lapar sambil berbincang-bincang. Perbincangan kami meliputi banyak hal. Sungguh hal menarik dapat bercengkrama dengan kedua pria aneh itu. hahaha
Kami makan siang di sebuah kedai tongseng kecil di pinggir jalan. Perjalanan dilanjutkan menuju Candi Ratu Boko yang ternyata jaraknya cukup jauh.
Obyek wisata yang satu ini terketak 2 km ke arah selatan candi Prambanan, 18 km arah timur Yogyakarta, dan terletak di atas bukit yang merupakan kelanjutan pegunungan Seribu seluas 250.000 m2 dengan ketinggian 195.97 m di atas permukaan laut.
Sejarah situs ini adalah sebagai berikut:
Prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran tahun 746-784 masehi, kawasan situs Ratu Boko disebut Abhayagiri Wihara. Abhaya artinya tidak ada bahaya, giri artinya bukit/gunung, wihara artinya asrama/tempat. Dengan demikian Abhayagiri Wihara berarti "asrama/tempat para Bhiksu agama Budha yang terletak di atas bukit penuh kedamaian.
Pada masa berikutnya Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing yang diproklamirkan oleh Raja Vasal bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan adanya reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko.
Setelah sekitar seratus tahun kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian dan melaporkan hasil penelitiannya yang diberi nama Kraton Van Ratoe Boko. Maka dari itu kepurbakalaan yang ada di bukit Ratu Boko dikenal dengan nama Kraton Ratu Boko.
Nama Kraton Ratu Boko berasal dari Kraton=ka-da-tu-an yang artinya tempat istana raja, Ratu=raja, Boko=bangau. Pengertian ini kemudian menimbulkan pertanyaan,"siapa yang disebut raja bangau?" Menurut masyarakat yang tinggal disekitar Ratu Boko, memang sering ada beberapa burung bangau yang selalu hinggap di pelataran wilayah Ratu Boko.
Pada bagian utara,barat dan selatan dari perbukitan Ratu Boko, merupakan tanah ngarai yang amat luas dan subur untuk daerah pertanian, sedangkan di bukit Ratu Boko sendiri terdapat kolam-kolam sebagai tandon air dari yang berukuran kecil sampai berukuran besar.
Kami juga melakukan sedikit tracking ke dalam hutan yang ada di area situs itu, di tengah petualangan kami, kami menemukan sebuah desa yang sangat sepi dan primitif, kami meyakini bahwa desa itu adalah desa kaum gay, lebih tepatnya desa di mana Penunggang Vario Putih berasal.
Buat yang belum tahu beritanya: Jadi di Jogja itu sekarang sedang ada isu: bahwa setiap malam ada cowok psikopat yang mengendarai motor Vario putih dan kerjaannya membacok korban yang sedang sial. Psikopat ini tidak perlu uang atau harta, dia hanya iseng untuk membacok, sampai detik ini psikopat itu belum juga ditemukan.
Kami berbincang-bincang lagi menunggu sunset tiba. Sayangnya, sunset yang ditunggu-tunggu tertutupi awan.
Kami kemudian meninggalkan area situs itu, dan menuju Jl. Prawirotaman, dekat Jl. Parangtritis.
Sebelumnya kami makan malam di emperan jalan KH Ahmad Dahlan.
Wah, aku baru tahu Jl.Prawirotaman itu adalah kampung bule, seperti Jl.Jaksa di Jakarta, aku senang sekali bertemu bule-bule, kemudian nongkrong sebentar di cafe Via Via, bertemu beberapa teman yang lain dari komunitas traveller.
yeah, tired but fun at all. love those guys, we should hang out together sometimes. :)
No comments:
Post a Comment