Bagaimanakah cara Tuhan menorehkan layung pada kanvas superlapang bernama langit pada pukul 18.00? Sebelum kau sempat memikirkannya, aku sudah menyiapkan jawabanku sendiri. Aku rasa membuat layung secantik itu sangat mudah. Ada satu cara menurut isi kepalaku yang sebesar alpukat 250 gram. Sebelum menciptakan layung, Tuhan pergi ke toko buku Gramedia lalu membeli dua botol cat poster bermerek Pentel. Sesampainya di rumah, Tuhan mengambil palet, mencampurkan Pentel No.11 dan No.12, kemudian mengaduknya dengan kuas. Layung pun siap ditorehkan pada langit biru muda. Tuhan menambahkan kapas-kapas pembersih muka sebagai aksesorinya. Begitulah cara Tuhan menciptakan secuil senja menurut versiku setelah mengikuti kelas melukis tiga tahun silam.
Layung yang dipancarkan saat baskara terbit dan tenggelam acap kali tidak jauh berbeda. Entah mungkin hanya perasaanku saja, senja jauh lebih lama memancarkan layung daripada saat mentari mulai merangkak bersinar. Aku percaya setiap senja menghadirkan kelayungan yang selalu berbeda. Itulah yang aku suka dari senja. Ketidakpastian. Contoh paling jelas dapat kau temukan pada musim hujan, senja kerap terhalang oleh butiran air yang keluar dari tangisan awan. Toh, sang surya tetap turun jua kan? Hanya saja saat hujan, kita tidak dapat melihat layung cantik dari tempat kita, mungkin di ujung sana orang yang sedang kita rindukan sedang menikmati layung pada pukul 18.00.
Ada beberapa cara untuk menikmati petang yang berlembayung lembut. Pergilah ke pantai. Ajaklah orang yang kau cintai—itupun kalau kau punya. Inilah usul yang paling klise yang tidak dapat kau hindari. Tak perlu jauh-jauh, sebut saja Ancol. Duduklah di salah satu tepian pantai. Lupakan segala aroma pesing yang tak sedap, atau palingkanlah wajahmu dari anak-anak kecoa yang bergerombol di bawah batu yang sedang kau duduki. Mulailah bertengger di tepian pantai dari pukul 17.00, hilangkanlah gundah gulana, resah dan gelisah. Pandangilah langit. Ingat jangan terlalu mendongakkan kepalamu terlalu ke atas, kalau tidak mau pulang dengan sakit leher. Dua puluh menit kemudian, kalau kau beruntung, kau bisa melihat sekawanan burung-burung gereja kembali ke sarang—ah, mungkin ini hanya khayalanku saja. Pandangilah pula wajah pasanganmu, pastikan bahwa ia tetap berada di sebelahmu dan tidak sedang melirik ke arah lain. Untuk menambah efek romantis, genggamlah tangannya, rasakan kehangatan tangannya—barangkali ada manfaatnya juga untuk menikmati kehangatan mentari yang tidak dapat secara langsung kau rasakan. Lihat! Tanpa kau sadari sang surya yang pukul 12.00 tadi menghanguskan kulitmu, kini perlahan teriknya memudar. Menit demi menit lingkaran oranye yang sebesar roda mobil terhisap oleh laut. Kau nampak bahagia setelah menikmatinya, kau mengira pasanganmu menggunakan kosmetik mahal karena wajahnya bersinar menyilaukan. Tenang, pasanganmu bukan Edward Cullen, ia terlihat bersinar karena duduknya membelakangi sinar baskara yang hendak menenggelamkan diri ke laut. Selain memperhatikan wajah pasanganmu, kau juga dapat menikmati warna latar belakang yang menawan. Ada merah tua, jingga, ungu, dan semburat awan tipis-tipis yang membingkai wajah pasanganmu. Tidak lama dari euforia yang begitu indah, kau tidak dapat melihat apa pun. Ops, aku lupa kau bukan salah satu pasien rabun senja kan? Maksudku, karena hari sudah dapat disebut malam, kau dan pasanganmu terpaksa meninggalkan pantai.
Menikmati salah satu keindahan yang Tuhan berikan tidak melulu harus dipaksakan, apalagi harus membayar Rp13.000 untuk masuk ke pantai Ancol. Pada suatu masa, di lembar kehidupanku yang jauh sebelum hari ini, aku punya beberapa rahasia kecil untuk merasakan keindahan senja. Cukup sisakan waktu sejenak menjelang pukul 18.00, hentikan semua pekerjaan.
Apabila kau sedang di rumah, buatlah secangkir teh rasa mint, ambil sebatang Toblerone , duduklah di sisi jendela rumahmu. Jangan, kau jangan sambil membaca buku Jane Austen, selain membuatmu tambah pusing, kau juga akan tertinggal menyaksikan permainan warna yang Tuhan pertunjukkan secara cuma-cuma. Pasang sajalah musik-musik jazz atau klasik. Saranku, coba pandangi langit yang masih berwarna biru muda dengan mendengarkan Mozart.
Mungkin, kau tidak akan melihat matahari berbentuk bulat seperti kau melihatnya secara jelas dari pantai, tapi kau bisa melihat gradasi warna yang menakjubkan. Mungkin pula, matahari yang bulat sempurna itu tersangkut di antara cabang-cabang pohon tinggi sehingga hanya terobosan sinarnya saja yang dapat kau rasakan.
Awalnya, mentari berwarna kuning keemasan. Hangatnya seperti saat kau memakan kuning telor ceplok setengah matang. Masa-masa keemasan itu dilatarbelakangi warna biru muda, bayangkan saja warna minuman Pop Ice rasa vanila. Tidak lama kemudian, tunggulah sampai warna Pop Ice vanila itu digerogoti warna lembayung. Lembayung itu jingga, perhatikan saja tangan ibumu setelah memarut kunyit—yah begitulah kira-kira warnanya. Jingga itu merangkak, merambat, menjinggai semua langit. Itu artinya mentari semakin tenggelam, kalau warna jingganya semakin pekat, tandanya matahari itu sudah hampir di dekat bibir pantai yang sudah siap mencaploknya. Tempo-tempo, langit yang sedang bernuansa jingga itu disisipi warna merah. Merahnya seperti api atau kobaran kemarahan warga lumpur Lapindo.
Akhir-akhir ini, aku tidak dapat melihat nuansa merah kejingga-jinggaan kala senja. Hari ini adalah sebuah hari di pertengahan September. Sepertinya, Tuhan sedang kehabisan botol Pentel bernomor 11 dan 12, maka ia menyuruh awan untuk menangis sekencang-kencangnya pada kira-kira pukul 18.00. Kalau tangisan awan sebentar, kau akan beruntung untuk melihat warna kelabu awan yang tersisa. Jelek sekali warnanya. Kelabu itu disisipi warna oranye yang sudah hampir pudar, coba bayangkan saja kaos suporter Persija yang dicuci ratusan kali. Lalu, langit menjadi kelabu semua, hanya samar-samar dari kejauhan kau dapat melihat secuil kuning telur turun perlahan, dan langit menjadi gelap, seperti Pentel nomor 25. Bila sudah seperti ini, sebaiknya kau naikan restleting jaketmu.
Jingga tidak selamanya selalu jingga yang murni,beberapa kali telah aku saksikan jingga itu ternodai oleh ungu. Waktu aku berumur 6 tahun, aku sering melihat campuran ungu dan jingga di langit Yogyakarta saat melintasi kuburan ayahku. Sayangnya, ibuku langsung meneriaki namaku karena tidak baik magrib-magrib berkeliaran di sekitar perkuburan. Kemudian, sejarah mencatat sang ungulah yang merambat dan melebar ke seantaro langit, hingga bulan menampakkan diri. Saat itu juga aku langsung berpikir untuk mencari tiket pesawat sesegera mungkin untuk kembali ke Jakarta. Instrumen Mozart pun berhenti. Aku terenyak kembali pada rutinitas.
No comments:
Post a Comment