Jam 9 teng, kami nyelonong masuk aja ke sana.
Tau-taunya PDS lagi dipakai untuk kopdar komunitas penerjemah. *gubrak*
dan rencana semula yang tadinya mau cari bahan buat tugas kritik sastra, batal total.
Akhirnya kami ngedeprok di depan Teater Kecil. Berdiskusi tentang Sitti Nurbaya. Mungkin kalau orang lewat mendengar selintas lalu percakapan kami, akan terkesan, "aduh ini dua cewek nggak penting banget sih ngebahas Sitti Nurbaya"
Selesai berdiskusi, mungkin menurut kalian nggak penting, sama nggak pentingnya, ketika hari itu kami ditawarin membeli setangkai mawar untuk mendungkung Jokowi. Apa hubungannya mawar dan Jokowi? *gelenggelengkepala*
Lou Reed, Asih, and John Lenon |
Saya dan Ayu Utami :) |
di lantai dasar ada 11 lukisan bergambar wajah orang-orang terkenal. Satu kesamaan, yaitu mereka menggunakan mahkota berduri berwarna emas, seperti Yesus.
"kemarin, hari ini, esok, sama saja" W.S. Rendra |
Setelah kami terkagum-kagum dengan karya tersebut, ternyata di lantai dua masih ada lukisan lagi.
Tiga lukisan absurd terpajang di dinding, dua mahasiswi sastra mengeja kata demi kata yang ada di dalam lukisan.
Lukisan pertama bertuliskan : art
Lukisan kedua bertuliskan: truth
Lukisan ketiga bertuliskan: worst
Ketiga kata tersebut saya kaitkan dengan lukisannya, saya mencoba untuk menganalisis secara amatir dengan teori sastra. halah.
setelah saya berkomentar atas lukisan tersebut, Asih nampak sependapat dengan saya.
Kami pun tertawa terbahak-bahak dengan kebodohan analisis kami yang terdengar sok-sok-an. macam kurator yang pandai menilai karya lukisan absurd.
Entah analisis kami benar atau salah, yang pasti hal ini menarik dan menyenangkan.
kesimpulan dari pengalaman hari itu,
menilai karya sastra absurd jelas lebih jelas, ketimbang menilai lukisan absurd. *angkattangan*
~dunia tanpa seni akan penuh kesia-siaan. bersama seni, kebenaran akan nampak terlihat indah~ bukankah demikian?
No comments:
Post a Comment