Peduli setan kalian tahu SGA atau tidak, intinya saya hanya ingin berbagi cerita sedikit tentang dia.
Awal perkenalan...
Pertama kali saya membaca buku SGA itu di Japan Fondation, sewaktu saya masih SMA kelas 1. Saat itu, saya sedang mencari pelarian, karena hampir seluruh koleksi perpustakaan bebahasa Jepang, jadi saya menghibur diri dengan berkutat di dekat rak buku koleksi "Sastra Indonesia". Novel pertama yang saya baca adalah Biola Tak Berdawai. Kemudian disusul dengan Negeri Senja.
Saat membaca kedua novel itu, saya belum tahu siapakah SGA itu. Saya belum memahami posisi SGA di dalam Sastra Indonesia. Kesan pertama saya saat membaca Negeri Senja, "Gilaa... pengarangnya jenius banget bisa berkhayal yang nggak pernah gw bayangin."
Saat kuliah, pengetahuan saya akan karya-karya SGA sudah jauh lebih banyak daripada saat masih SMA. Beberapa kali saya juga telah bertemu dengan SGA, baik berpapasan di kampus atau dalam diskusi-diskusi sastra. Akhirnya, saya merasa terbiasa dengan nama SGA.
Sampai...
sudah satu bulan terakhir ini, saya berkutat dengan salah satu novel SGA, yaitu Jazz, Parfum, dan Insiden. Karena untuk keperluan akedemis, saya melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel itu. Di suatu titik, entah di mana persisnya, saya menemukan diri saya dalam karya SGA. Seperti menemukan kecocokan cara berpikir. Setiap pendeskripsian atau ungkapan-ungkapan SGA seperti mewakili apa yang saya rasakan. Belakangan, beberapa minggu terakhir, saya mulai kepikiran tentang SGA.
Dan hari Senin kemarin, tiba-tiba, di kelas Kritik Sastra, dosen saya, Tommy Christomy, memberitahukan bahwa ia mengundang SGA ke dalam kelas.
WAAAAAAAAAAAAAAA sontak saya teriak! pucuk dicinta, ulam pun tiba!! Keren banget!! Salut untuk Pak Tommy.
Tiba lah hari ini, di mana hari ini saya bertemu dengan SGA, entah untuk yang ke berapa kali. Kelas ini dimulai pukul 9.00 lewat sedikit, di Gd. 3 FIB UI.
SGA hari ini menggunakan kaos hitam bergambar bintang merah, celana jins, dan sepatu Spalding. Seperti gayanya yang sehari-hari. Tidak ada yang istimewa.
SGA membuka kuliah ini dengan membacakan dua puisi, karya Amir Hamzah dan Rendra. SGA kemudian berbicara ngalor ngidul, kiri kanan, depan belakang. Berikut adalah poin-poin yang saya buat:
- Kritik sastra kita itu tidak bertanggung jawab.
- SGA membicarakan karya Rendra yang cenderung tidak memenuhi kaidah estetis. Banyak ahli yang mempertanyakan karya Rendra ini termasuk sastra atau bukan?
- Dulu, sastra koran itu dihina, karena seperti sampah.
- Pada zamannya, Rendra menimbulkan kecemburuan di kalangan sastrawan.
- Memang salah kalau kita meninggalkan keindahan dalam sastra? memang salah kalau sastra itu menggunakan bahasa yang eksplisit?
- Katanya, padahal sastra itu pragmatis.
- Ada kubu-kubu dalam jagad sastra.
- Sindiran atas orang-orang yang suka memakai teori. Kenapa sih kita harus selalu terpatok pada teori? Kita kan bisa membuat teori sendiri?
- Yang masih jarang dalam penelitian adalah kajian-kajian yang membicarakan teori.
- Pengarang itu tukang kibul, dia hanya meminjang kata-kata dari bahasa.
- Pengarang itu adalah gudang kutipan.
- Bagaimana kita meneliti sastra? kalau pengarang aja meminjam kata-kata dari bahasa. Kan katanya kalau mau meneliti sesuatu kita harus keluar dari objek yang diteliti. sedangkan kita saja berada di dalam 'dunia' bagamaina menelitinya coba?
- Katanya, sekarang esensi itu sudah nggak laku.
- membicarakan psikoanalisis juga.
- membicarakan Foucault tetang kebenaran.
- membicarakan Einstain. Kata Einstein, dunia fisik aja bersifat relatif, apalagi dunia konsep, sastra, dunia yang abstrak. Segalanya bisa berubah Padahal di akademik kita dituntun untuk memastikan penelitian.
- Sastra itu nggak ekslusif.
- Sebenarnya berita itu adalah bentuk konstruksi, kajian posmo.
- globalisasi sudah ada sejak lama, sejak borobudur
- Seringkali obrolannya menyelipkan/menggunakan konsep-konsep filsafat.
Sebenarnya masih ada lagi. Intinya, hari ini saya mendapat pencerahan yang besar. Sebagai mahasiswa kita harus berani mengambil sikap. Kalau mau menilai karya sastra, kita perlu berani mengungkapkan pendapat kita. Peduli setan kalau kita salah, namanya juga dalam proses belajar. Pasti ada salah.
SGA menyarankan untuk kita agar lebih sering mengasah cara berpikir yang out of the box.
Setelah kuliah selesai, biasalah apa yang terjadi....
yaitu seperti ini...
dan setelah itu, saya juga meminta tanda tangan SGA.
No comments:
Post a Comment