Ada sedikit oleh-oleh cerita dari Dieng, selain manisan
carica.
Tadi sore
saya mendapat SMS dari Suci (teman sekelas), "Lu ke Dieng? Kok nggak
ngajak-ngajak???" Untuk menjawab
pertanyaan itu, 160 karakter sepertinya tidak cukup. Maka saya hanya membalas,
"Lihat di blog aja, detailnya."
Jadi begini ceritanya... (*soksok
pasang tampang misterius)
sebelum ke Temanggung, saya sudah
mendengar desas-desus Dieng Cultural Festival 2012. Tertarik banget buat datang! Tapi,
sama siapa??? Garing banget kayaknya kalo harus sendirian, walaupun nggak
menutup kemungkinan juga sih. Siapa takut?
Selidik punya
selidik, di forum CS ada beberapa orang yang tertarik juga untuk datang ke
acara ini. Sayangnya, mereka sebagian besar berangkat dari Jakarta, Semarang,
dan Jogja. Saya berharap ada seseorang yang berangkat dari
Temanggung.
H-1 (28/6) saya
masih belum mendapat teman ke sana, saya punya firasat 80% pasti akan pergi
sendirian.
Pada pagi hari, saat hari H,
(29/6), saya tiba-tiba dilanda sakit diare, sakit kepala, nggak enak badan,
alamak sial banget! Gara-garanya kemarin saya kebanyakan makan cabai
rawit! Ini alamat batal deh ke Dieng.
Keluarga saya semua menyarankan untuk membatalkan trip ini.
Tiba-tiba ada SMS masuk,
"Alfi, saya dan teman saya akan berangkat dari Jogja ke Temanggung pukul
10.00 ya.." SMS itu berasal dari salah satu anggota CS.
HOORAAY!!! Di detik-detik
terakhir sebelum saya menyerah untuk membatalkan trip ini karena alasan
kesehatan, akhirnya dapat teman juga ke Wonosobo. Thanks a lot to CS!
Dua orang itu bernama Willy dan
Bella, mahasiswa jurusan sosiologi Atmajaya Jogja. Tidak butuh waktu lama untuk
beradaptasi dengan orang baru. Obrolan kami langsung mengalir lancar jaya tanpa
macet.
Sebelum melanjutkan perjalanan
dari Temanggung ke Wonosobo, saya mengundang mereka untuk menyantap sate
lontong di rumah. Keluarga saya pikir, mereka adalah teman lama saya. Hmm,
mungkin agak lebih sulit bagi mereka untuk menerima penjelasan kalau saya
katakan "Mbah, kami baru berkenalan 5 menit yang lalu!"
Antara Temanggung dan Wonosobo
Hanya butuh waktu 1,5 jam
perjalanan dengan bus colt pintu 2. Di dalam perjalanan, saya duduk di sisi
jendela, di sebelah saya ada Bela. Wili duduk di depan kami. Saya dan Bela
terus mengobrol, melantur ke mana-mana. Terselip pembicaraan mengenai media
literacy, poskolonial, gender, dan tentang etnisitas.Tiba-tiba pembicaraan
terhenti, saya terkesima sesaat, saat menoleh ke jendela, saya menemukan
keindahan alam yang luar biasa. Gunung, sawah, langit biru dan gumpalan awan
putih. Sepanjang perjalanan, kami melalui bentangan alam yang sangat cantik itu.
Ahh, betapa besar karya agung Tuhan!
Pertemuan di Kalianget
Kalianget adalah nama dusun yang kami
singgahi. Kami mendapatkan tumpangan untuk menginap di salah satu rumah anggota
CS. Hanya butuh naik 2x angkot untuk sampai ke Kalianget dari terminal
Wonosobo. Sesampainya di rumah Pak Hary (nama host kami), ternyata sudah ada 2
orang yang menumpang di sana, mereka Yuvi dan Ifa (kakak-adik). Kelak saya baru
mengetahui ternyata Yuvi dan saya kuliah di fakultas yang sama. What a small world?
Sewaktu, saya-Bela-Willy sampai
di rumah Pak Hary, tuan rumahnya masih di luar, jadi yang menyambut kami adalah
istrinya. Ia sungguh ramah kepada kami. Tidak perlu waktu lama juga untuk
berkenalan dengan istri tuan rumah dan anak-anaknya, serta berkenalan dengan
Yuvi dan Ifa. Mereka semua orang baik J Tidak
berapa lama, saya bertemu dengan Pak Hary. Disusul dengan kedatangan Max, cowok
Kanada, yang mengendarai motor dari Pengandaran hingga Wonosobo. SALUT!!!
Saya agak sedikit speechless juga sih saat melihat Max
untuk pertama kalinya. Oke, semua cewek di trip ini bilang Max itu ganteng. Masalahnya
adalah, dia orang Kanada cuiii!!! kalau kalian baca blog-blog saya dua tahun
lalu, tahu-lah ada apa hubungan saya dengan Kanada. Hehe.. Jadi, saya agak
sedikit galau-galau gimana gitu. Oke, next!
Dan setelah Max, agak lebih
malam, datanglah dua orang dari Semarang, yaitu Tika dan Sofi. Total ada tujuh
orang baru yang akan menemani trip ini. Waah saya senang sekali dengan
pertemuan ini. Terlepas dari kondisi saya yang agak lemah, karena perut saya
sedang tidak beres, tambahan lagi sakit maag, dan badan agak kurang fit. Saya
mencoba untuk mengacuhkan itu semua, dan fokus pada trip ini. Malam itu kami
segera merundingkan acara untuk besok. Kami sepakat untuk berangkat pukul 03.00
dari rumah untuk mendaki Bukit Sikunir. Dalam hal ini, Pak Hary sangat baik, ia
mencarikan supir angkot yang mau kita sewa untuk trip ini. Makasih sangat ya
Pak!
ALASKA itu ada di Gunung
Sikunir Wonosobo: Sebuah perjuangan untuk menemui Sang Surya.
this is the view from the half way to the top |
Keesokan paginya, pukul 03.00 dini hari, angkot sudah menjemput
kami. Perjalanan dari Dusun Kalianget ke Desa Sembungan membutuhkan waktu
kurang lebih satu jam. Perjalanannya lebih singkat daripada waktu saya ke
Bromo. Kata orang, Desa Sembungan adalah desa tertinggi di Pulau Jawa! Sekitar
2.100 m dpl. Wow!
Sayangnya, walaupun sudah berkali-kali meyakinkan diri sendiri
bahwa saya telah sembuh, dan sudah saya coba untuk tidak mengeluhkan penyakit
saya kepada orang-orang, akhirnya tubuh saya menyerah juga. SAYA MUNTAH! Tepat
di saat yang bersamaan, angkotnya berhenti untuk menanyakan arah ke Gunung
Sikunir. Sewaktu ke luar, saya melihat begitu banyak bintang di langit. Saya
takjub. Keindahan kerlap-kerlip bintang seolah menguatkan saya untuk kembali
sehat dan melanjutkan perjalanan. Pasca-muntah dan melihat bintang-bintang itu
kondisi badan saya sudah lumayan enak.
Setibanya di area Gunung Sikunir, hal pertama yang harus saya
atasi adalah suhu yang seperti di kutub. DINGIN SEKALI!!! Sanggupkah saya naik
ke atas? Ada semacam pergulatan batin yang membutuhkan waktu beberapa menit
untuk akhirnya memutuskan, “Ya, saya sanggup!”.
Sebelum memulai pendakian untuk melihat The Golden Sunrise of
Sikunir, kami harus membayar biaya retribusi sebesar Rp3.000.
Langkah-langkah awal memang mulanya berat, saat itu suhu kira-kira
kurang dari 10 C! Semakin ke atas, semakin tinggi tanjakannya, langit masih
gelap, saya susah untuk melihat hal di sekitar saya. Napas saya mulai
pendek-pendek. Saya hanya fokus pada satu hal: jalan setapak. Tidak ada pikiran
lain. Tidak ada kata keluhan, saya harus mencapai puncak, demikian saya
menyemangati diri saya.
taken from the top of Sikunir |
Sebelum pukul 05.00, kami semua telah mencapai puncak Sikunir. Sang surya agak telat datang karena tertutup awan. Saya merasakan, “Inilah rasanya berada di puncak gunung, angin dingin nan sejuk, pemandangan yang permai, suasana yang membuat hati menjadi riang gembira”. Untuk beberapa saat saya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di saat yang bersamaan. Sekilas saya mengenang masa-masa menikmati sunrise di Bromo. Ah.. betapa menyenangkannya hidup ini. Saya sungguh bersyukur bisa melihat pemandangan sealami dan senatural ini. Tidak hanya kekaguman atas pemandangan alam saja yang saya dapatkan, pencapaian ini juga memberikan saya pelajaran. Pengalaman ini seolah ingin mengajarkan kepada saya, “Ini lhoo, setelah kamu bersusah-susah naik ke atas, sakit kamu lalui, akhirnya kamu mendapatkan hadiah yang indah tak terkira.” Benarlah pepatah yang mengatakan, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
among those flowers in the middle of Sikunir's jungle |
Seusai sesi foto-foto, sekitar pukul 07.00 kami turun ke tempat di mana angkot kami menunggu. Di bawah sana, ada yang menjual sagon hangat, seharga Rp5.000/porsi. Lumayan untuk mengganjal perut yang lapar. Sebelum meneruskan perjalanan, dan sambil menunggu beberapa yang masih di toilet, saya dan beberapa teman foto-foto di danau Cebong.
sat in the edge of Cebong Lake |
Kawah Sikidang: Napas
Raksasa Dieng
Dari Sikunir ke Sikidang, tidak terlalu jauh, sekitar 30 menit kurang. Kawah Sikidang ini terletak di dusun Dieng Kulon, kecamatan Batur, dan sudah termasuk bagian dari Banjarnegara. Kata Pak Hary, Dataran Tinggi Dieng itu 80% milik Banjarnegara dan 20% milik Wonosobo, itu namanya politik teritori. Di tengah jalan, kami dicegat untuk membayar biaya retribusi sebesar Rp10.000 per orang, satu tiket berlaku untuk dua tempat, yaitu Kawah Sikidang dan Kompleks Candi. Berkat jasa diplomasi Willy, kami masuk kawasan ini dengan hanya membeli 5 tiket, padahal di dalam mobil kami ada delapan manusia. Lumayan ngirit J
Begitu turun dari angkot, segerombolan penjual masker mengerumuni kami. Mereka menjajakan masker dengan dalih di kawah sana nanti sangat bau. Apakah benar?? Well, saat pertama kali masuk kawasan kawah belerang itu, kesan yang saya tangkap adalah napas raksasa, telor busuk, kentut, dan segala bau-bau yang tidak menyenangkan. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, kami menemukan kawah vulkanik yang banyak dibicarakan orang-orang. Kawah Sikidang, dengan suhu lebih dari 98 C tidak henti-hentinya mendidih, “blup..blup…blup”. Asap putih dengan aroma khas belerang terus mengepul di atas kawah ini. Uniknya, lokasi ini menjadi tempat favorit untuk pembunuhan atau bunuh diri. Waaw…
Finally we reached the top of the hill!! |
in the top of Sikidang hill. |
Di saat yang lain masih asyik mengamati keajaiban alam itu. Max sudah berlari mendaki bukit kecil di samping kawah. Terpacu Max, tidak beberapa lama, saya, Bela, Ifa, dan Yuvi menyusulnya. Tidak semudah yang saya lihat. Kalau Max mendaki hanya cukup dengan lari-lari ringan. Tapi saya???? Saya harus sangat pelan-pelan karena takut tergincir. Ini bukit batu berpasir, rawan terpeleset. Bagaimana si Max bisa begitu lincah naik sampai atas?
see my face? was so happy after successfully got down from the top. Finally, I was saved! |
Bagaimana catatan perjalanan selanjutnya?
to be continued... masih ada ulasan kawah sileri, danau merdada, nasi megono, mie ongklok, tempe kemul, itinerary ke dieng, dan masih banyak lagi. sabar yaa.. :)
No comments:
Post a Comment