Perjalanan dilanjutkan menuju ke kompleks candi-candi. Ada
Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Arjuna, dll. Mulanya saya pikir akan menemui
candi-candi besar seperti Borobudur, sayangnya yang saya lihat hanya candi
dengan ukuran agak kecil. Karena kami datang di hari pertama Dieng Cultural
Festival 2012, wajar plataran parkir area candi dipenuhi bus dan mobil.
Sepertinya ada banyak sekolah yang sedang melakukan study tour ke tempat ini.
Karena di mana-mana yang saya lihat adalah remaja-remaja rewel yang menggunakan
seragam olahraga.
Pemandangan di kompleks candi ini bagus, udaranya juga
sangat segar untuk dihirup. Saya sampai sana sekitar jam 10 pagi sehingga
matahari belum terlalu terik. Kami duduk-duduk manis sambil beristirahat
sejenak di depan Candi Arjuna. Di tengah menikmati pemandangan alam nan hijau
itu, si Max tiba-tiba diserbu sekawanan remaja labil. Pasti kalian dapat
menebak apa yang terjadi! Seperti yang sudah saya katakan, secara fisik Max itu
tergolong cowok bule ganteng, dengan perawakan yang ideal, wajar dong kalo
ABG-ABG ini berbondong-bondong untuk minta foto bareng?
Semakin lama, semakin
banyak yang datang minta foto. Akhirnya saya berseloroh, “Max!” Kemudian Max
menoleh dan tersenyum, “Good call!” dan kami segera meninggalkan pelataran
Candi Arjuna yang sesak dengan ABG labil itu J
Sebelum meneruskan perjalanan kami jajan jagung bakar dulu.
Lumayan buat mengganjal perut yang belum diisi dari tadi subuh. Setelah
pendakian, terasa perut mulai meronta-ronta untuk diberi makan. Tidak jauh dari
kompleks candi, ada situs pariwisata yang kerap dikunjungi, yaitu Telaga Warna.
mie ongklok + sate ayam |
Setiba di sana. Kami mulai berunding lagi. Kalau kami masuk
hari ini, besok kita pasti akan masuk lagi ke sana, karena kami besok akan
melihat pelarungan rambut di telaga itu. Untuk menghindari masuk ke situs itu
sebanyak dua kali, kami akhirnya memutuskan masuk ke telaga besok saja. Di
seberang situs ada berbagai pedagang makanan. Kami mampir ke salah satu warung
yang menjual mie ongklok. Rasanya lumayan untuk perut yang lapar dan untuk
harga Rp5.000/mangkok.
Masih
ada dua situs lain yang kami kunjungi hari itu, yaitu Kawah Sileri dan Telaga
Merdada. Untuk masuk ke situs itu pengunjung dikenakan biaya retribusi. Berkat
kepiawaian supir angkot dalam berdiplomasi, kami akhirnya mendapat harga
Rp15.000 untuk 8 orang! Murah kan?
all of us, behind the Sileri cauldron |
Sebenarnya
tidak banyak yang dapat diceritakan mengenai Kawah Sileri. Sewaktu kami mau ke
sana, di tengah jalan kami terpaksa berhenti karena ada perbaikan jalan.
Akhirnya kami hanya dapat melihat Kawah Sileri dari kejauhan. Dibandingkan
Kawah Sikidang, kawah ini jauh lebih kecil.
Tidak banyak wisatawan mengunjungi Telaga Merdada. Terbukti
waktu kami ke sana, suasananya sungguh sepi. Telaga ini tidak seperti
danau-danau yang sering saya temukan, yang biasanya menyisakan lahan untuk
pengunjung berduduk-duduk. Telaga Merdada ditemboki oleh pegunungan dan
dipadati oleh lahan sawah. Jadi kebayang dong para wisatawan mau duduk di mana?
Sehingga kalau pengunjung berharap akan menikmati pemandangan dari pinggir
telaga, hal itu salah besar. Selain bau pupuk CM yang menyengat, telaga ini
tidak ada ruang untuk pengunjungnya duduk di pinggirnya. Jangan sedih dulu,
kalau kalian mau duduk sambil menikmati keindahan telaga ini, kalian bisa duduk
di viewing point yang terletak tidak beberapa jauh dari telaga.
Di telaga ini kami sudah mati gaya. Pasalnya, saat itu baru
jam 12-an, dan kami sudah mengunjungi hampir semua situs di pegunungan Dieng.
Mau apalagi coba? Setelah berunding lagi, kami sepakat untuk balik ke Wonosobo.
Saat perjalanan balik, kami melalui kompleks candi lagi. Di sana kami melihat
kerumunan orang semakin menyemut. Kami segera memutuskan untuk melihat
keramaian itu lagi.
Saat kami datang, sedang ada pertunjukan seni tradisional.
Pagelaran tersebut termasuk salah satu rangkaian acara Dieng Cultural Festival
2012. Sebelum kami datang , sudah ada beberapa pertunjukkan. Kami hanya
berkesempatan menikmati Tari Topeng Dieng. Kalau dilihat dari jadwal yang dikeluarkan Dinas Pariwisata, kenyataannya tidak sesuai. Telat banget acaranya!
Terik matahari benar-benar panas pada jam 1 siang. Anehnya
hembusan angin terasa tetap dingin di tengah terik yang menyengat itu. Saya
rela berdiri panas-panas untuk menonton Tari Topeng yang magis itu sampai
selesai. Saya dapat melihat pada penari sedang dalam kondisi trans. Mereka
menari, memakan bunga, dan memecut. Seram, magis, mistis, entahlah.
Selesai tari topeng,
saya melihat beberapa anak perempuan menghampiri penari perempuannya untuk
meminta secolek bedak. Saya dan Bela terheran-heran. “Untuk apa ya?” “Biar
bikin cakep kali, yuk minta yuk!”
Awalnya kami malu-malu untuk minta, akhirnya dengan dalih
foto bareng kami mendekati penari perempuannya. “Mbak boleh minta bedaknya?”
kata saya akhirnya. Si penari dengan baiknya menyodorkan bedaknya itu. “Buat
apa sih Mbak anak kecil minta bedak dari Mbak?” tanya saya penasaran.
“Biar nggak kesurupan,” jawabnya sederhana. Saya dan Bella
berpandangan dan mulut kami membentuk huruf O. Owalah… kami pikir dengan minta
bedak akan ada kepercayaan akan menambah kecantikan seseorang, sayangnya hanya untuk
nggak kesurupan. Hahah J
the dancers, Bela, me, and Sofi behind us. |
Sebelum balik ke Wonosobo, kami duduk-duduk dulu di warung
makan cemilan, ada kentang goreng, kripik-kripik, dan sambil menyeruput
purwaceng. Denger-denger sih purwaceng berkhasiat untuk menambah energi pria.
Tapi kalau diminum perempuan gimana ya? Hehehe :D
Butuh satu jam untuk kembali ke rumah Pak Hary. Kami sampai
sana kira-kira pukul 15.30. Masih ada waktu untuk ke permandian air hangat di
Kalianget. Sebelumnya, istri Pak Hary sudah menyediakan mie ongklok buatannya
untuk kami. Waaaah…. *o* kami semua tersentuh akan keramahan keluarga Pak Hary.
Mienya enak banget! Karena dibuat dengan …cinta.. (halah..!) Tapi serius memang
enak banget! Selain mie ongklok, kami juga disuguhi tempe kemul. Tempe kemul
itu sejenis tempe mendoan yang menggunakan daun kucai.
Tidak semua rombongan pergi ke permandian Kalianget. Hanya
ada saya, Bela, Ifa, Yuvi, Tika, dan Max. Permandian ini memiliki dua pilihan,
kolam renang atau bath up. Kolam renangnya sih normal-normal saja. Sewaktu
melihat bath up-nya. Jeng Jeng! Saya langsung patah arang. Lebih baik saya
mandi dengan air dingin di rumah Pak Hary, daripada harus mandi air hangat di
bath up yang sudah dipakai ratusan orang tanpa dicuci lebih dahulu. Ewww ogah!
Liat aja sumber air hangatnya berasal dari kali yang banyak sampahnya.
Dari 6 orang yang pergi, hanya Bela saja yang mencoba
sensasi bath up-nya. Setelah keluar dari sana, dia no-comment gitu deh.. yaah…
Balik ke rumah Pak Hary, kami ngobrol-ngobrol lagi, ngalur
ngidul, becandaan, cerita ini itu. Seru! Malam itu adalah malam terakhir kami bersama, karena besok kami akan pulang ke tempat kami masing-masing. Ada rasa sedih yang menyelinap tiba-tiba. Kami baru berkenalan kemarin, kami senang-senang bersama, tapi besok sudah harus berpisah. Sedih rasanya.
Malam itu kami mampir ke tetangga Pak Hary yang buka usaha pabrik oleh-oleh. Banyak kripik jamur, kacang dieng, kripik tempe, dan lain-lain. Yang lain banyak yang beli kripik-kripikan, saya hanya belanja teh tambi (teh khas Dieng) dan manisan carica.
Malam itu karena lumayan lelah, kami tidur lebih awal, dan bersiap untuk acara pemotongan rambut gimbal di Dieng Cultural Festival 2012.
Tetap ikuti dan simak catatan perjalanan ke Dieng di hari terakhir tetang pemotongan rambut gimbal.
Untuk catatan perjalanan Dieng bagian pertama baca dulu di sini.
No comments:
Post a Comment